Di zaman modern ini, menjaga penampilan bukan lagi monopoli kaum hawa. Para pria pun mulai sadar bahwa wajah bersih, badan bugar, dan gaya stylish bukan sekadar urusan estetika, tapi juga investasi masa depan. Bayangkan, penampilan yang rapi dan menarik bisa membuka banyak pintu---dari pintu kantor hingga pintu hati si dia.Â
Fenomena ini melahirkan istilah yang cukup mencuri perhatian pria metroseksual.
Pria metroseksual adalah pria yang sangat peduli pada penampilannya dan biasanya tinggal di kota besar, tempat gaya hidup modern bertemu dengan dompet yang sering ngos-ngosan. Istilah ini, yang berasal dari kata "metropolitan" dan "heteroseksual," dipopulerkan oleh seorang jurnalis asal Inggris bernama Mark Simpson pada tahun 1994.Â
Para pria metroseksual ini bisa dikenali dari kulitnya yang lebih glowing daripada remaja TikTok, rambutnya yang selalu rapi seolah baru keluar dari salon, dan gaya berpakaiannya yang bisa bikin majalah mode iri. Mereka juga suka berbelanja, membaca majalah pria, dan memperhatikan perawatan tubuh. Bahkan, gym sudah seperti rumah kedua buat mereka. Pokoknya, penampilan nomor satu.
Namun, di balik segala usaha para pria ini, muncul pertanyaan besar. Apakah dengan segala upaya menjaga penampilan ini, pria juga membutuhkan "klinik kegantengan"? Atau cukup mengandalkan klinik kecantikan yang selama ini menjadi wilayah kekuasaan kaum hawa? Mari kita telusuri lebih jauh dengan gaya santai, tapi tetap kena di hati.
Transformasi Nasihat Mbok Saya
Untuk mencapai level metroseksual, para pria kini rela melakukan banyak hal. Dari facial di klinik kecantikan hingga konsultasi dengan dokter kulit, bahkan olahraga keras demi badan berbentuk huruf "V" (bukan lingkaran, tentu saja).Â
Namun, kalau dipikir-pikir, ini sangat berbeda dengan zaman saya kecil dulu. Waktu itu, nasihat mbok saya simpel saja. "Nak, yang penting itu hatimu, bukan casing-mu," katanya sambil mencuci baju di sungai.Â
Filosofi sederhana ini sudah menjadi panduan hidup kami di masa sulit. Sabun colek saja sudah dianggap cukup mewah untuk cuci muka. Perawatan kulit? Tidak ada. Paling mentok, masker alami dari lumpur sawah.
Tapi sekarang, dunia sudah berubah drastis. Para pria rela mengeluarkan uang lebih banyak untuk skincare daripada untuk belanja sembako. Kalau mbok saya tahu, mungkin beliau akan menggeleng-geleng sambil berkata, "Yoh, lee... mendingan duitmu buat beli tempe daripada buat masker lumpur. Tempe itu sehat, lho!" Saya jadi bertanya-tanya, apakah kita sudah terlalu jauh meninggalkan filosofi hidup mbok saya?