Bahkan, beberapa pihak menyebut luas kebakaran ini setara dengan dampak serangan zionis terhadap Palestina, memperkeruh emosi publik dengan membandingkan dua tragedi yang tidak memiliki korelasi langsung.
Narasi seperti ini, meskipun menarik perhatian, hanya memperkeruh suasana. Tragedi yang seharusnya menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran akan krisis iklim malah berubah menjadi ajang cocokologi tanpa dasar.
OCCRP dan Kontroversi Nominasi Tokoh Terkorup
Laporan OCCRP (Organized Crime and Corruption Reporting Project) yang memasukkan sejumlah pemimpin dunia, termasuk Presiden Joko Widodo, ke dalam nominasi tokoh terkorup 2024 juga memicu kegaduhan.
Banyak yang langsung menganggap ini sebagai "vonis" atas kepemimpinan, meski OCCRP telah mengklarifikasi bahwa nominasi tersebut didasarkan pada saran publik, bukan bukti konkret.
Hukum memiliki mekanisme tersendiri yang tidak dapat bergantung pada opini atau asumsi semata. Dalam prinsip hukum, bukti adalah landasan utama untuk membangun suatu kasus, bukan spekulasi atau persepsi publik.
OCCRP sendiri menegaskan bahwa nominasi ini bukanlah bukti konkret dari tindakan korupsi, melainkan hasil masukan publik yang membutuhkan verifikasi lebih lanjut. Sayangnya, klarifikasi ini sering kali tenggelam dalam opini emosional dan teori konspirasi yang memperburuk citra tanpa dasar yang kuat. Publik cenderung lebih terpikat pada sensasi ketimbang memeriksa fakta.
Vonis Kasus Timah Angka Fantastis dan Keadilan yang Dipertanyakan
Di Indonesia, kasus korupsi timah dengan angka kerugian yang disebut mencapai Rp 300 triliun menjadi bahan perbincangan panas. Angka fantastis ini lebih menggambarkan potensi kerugian ekologis daripada kerugian finansial langsung.
Namun, narasi publik cenderung menganggap angka tersebut sebagai uang yang "dicuri" oleh terdakwa.
Vonis Harvey Moeis yang hanya 6,5 tahun penjara memicu kekecewaan, dengan publik membandingkannya dengan hukuman lebih berat pada kasus pencurian kecil. Meme dan video yang beredar di TikTok semakin memperburuk persepsi ini, menggambarkan Harvey sebagai tokoh utama yang mencuri Rp 300 triliun. Narasi dramatis ini, meskipun viral, jauh dari fakta hukum.