Mohon tunggu...
Abdul Wahid Azar
Abdul Wahid Azar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Praktisi Bisnis

Menulis subtansi kehidupan, Jujur pada realitas

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

"Ole Ole Bali" Ketika Ikon Budaya Kita Lebih Dihargai di Negeri Orang

9 Januari 2025   07:20 Diperbarui: 9 Januari 2025   07:20 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perjalanan kami ke Malaysia, khususnya menjelajahi pusat perbelanjaan premium seperti Sunway Pyramid di Selangor dan mal-mal besar di Kuala Lumpur, membuka mata akan sebuah kenyataan yang menyindir.

Di antara gemerlap toko-toko berkelas internasional, perhatian kami terhenti pada sebuah restoran besar yang berdiri megah di pintu masuk utama "Ole-Ole Bali".

Tidak seperti restoran Indonesia di negeri sendiri yang sering kali tersembunyi di lorong-lorong mal atau dikelompokkan dalam food court yang seragam, Ole-Ole Bali menempati area premium.

Lokasi ini biasanya diperuntukkan bagi merek-merek internasional kelas atas seperti Gucci atau Louis Vuitton. Di sini, budaya Bali dihormati dan dikemas sebagai sebuah kebanggaan, menjadi daya tarik utama bagi pengunjung lokal maupun internasional.

Tidak kurang dari enam gerai restoran Ole-Ole Bali tersebar di mal premium di Kuala Lumpur dan Sunway Pyramid, yang dapat dilihat di situs resmi mereka, www.oleolebali.asia, atau melalui ulasan di TripAdvisor.

Namun, pemandangan ini mengundang ironi besar. Bagaimana mungkin budaya kita, yang menjadi identitas bangsa, lebih dihargai di negeri orang daripada di tanah air sendiri? Ole-Ole Bali tidak hanya menjual makanan, tetapi juga pengalaman, suasana khas Bali yang otentik dengan dekorasi yang mencerminkan keindahan Pulau Dewata.

Sungguh pemandangan yang menakjubkan, tetapi sekaligus menyakitkan ketika kita membandingkan dengan bagaimana budaya lokal sering kali diabaikan di ruang-ruang publik Indonesia.

Salah satu menu favorit, semuanya nuansa lokal Indonesia ( Sumber -Repro tripadvisor)
Salah satu menu favorit, semuanya nuansa lokal Indonesia ( Sumber -Repro tripadvisor)

Ketika Mal-Mal Kita Kehilangan Identitas

Mal di Indonesia saat ini seolah menjadi galeri bagi merek internasional: Bulgari, H&M, Zara, Starbucks, dan berbagai nama lain yang begitu asing dari akar budaya kita.

Nuansa Indonesia nyaris tak terasa. Masuklah ke salah satu mal di Jakarta, dan Anda akan merasa seperti berada di kota metropolitan mana pun di dunia -- tanpa ciri khas lokal.

Bayangkan jika, alih-alih disambut oleh kedai kopi global atau restoran Jepang seperti Hachi Grill, kita disuguhi restoran-restoran khas Nusantara:

Resto Soto Lamongan dengan menu aneka masakan khas Jawa Timur yang kaya rasa.

Pusat kuliner Padang sederhana, dari Kapau hingga Pagi Sore, yang menggambarkan keragaman masakan Sumatera Barat.

Restoran khas dari setiap provinsi -- mulai dari Ayam Taliwang, Rawon Surabaya, hingga Nasi Liwet Solo -- yang menjadi magnet budaya dan kuliner.

Bukan hanya mal, tetapi juga bandara, stasiun, dan ruang publik lainnya. Setiap tempat harus menjadi etalase kekayaan budaya Indonesia, bukan sekadar ruang untuk memamerkan merek asing yang tidak berkontribusi pada identitas bangsa.

Bangkitnya Identitas Lokal

Fenomena Ole-Ole Bali di Malaysia adalah cermin dari sebuah ironi besar: budaya lokal kita dihormati oleh orang asing tetapi sering diabaikan oleh kita sendiri. Ini bukan sekadar masalah ekonomi atau branding, tetapi refleksi dari bagaimana kita memandang identitas kita.

Malaysia menunjukkan bahwa dengan strategi yang tepat, budaya dapat menjadi kekuatan ekonomi sekaligus identitas nasional. Ironisnya, Indonesia memiliki lebih banyak potensi tetapi kurang memiliki keberanian untuk memprioritaskannya.

Menolak Pasif, Membuka Jalan

Indonesia tidak kekurangan potensi budaya untuk menjadi kebanggaan global. Namun, penghargaan atas budaya sendiri harus dimulai di rumah.

Ketika bandara, mal, dan ruang publik kita lebih dipenuhi aroma kopi internasional daripada masakan Nusantara, itu bukan hanya kesalahan sistem, tetapi juga cermin dari pilihan kita.

Saatnya berhenti mengeluh tentang kesuksesan budaya kita di negeri orang dan mulai bertindak untuk memprioritaskan budaya lokal. Pemerintah harus hadir dengan kebijakan konkret, dan masyarakat harus mendukung dengan bangga memilih produk lokal.

Hanya dengan kombinasi ini, budaya kita akan bangkit, tidak sekadar menjadi hiasan di negeri orang, tetapi juga identitas yang utuh di negeri sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun