Perjalanan kami ke Malaysia, khususnya menjelajahi pusat perbelanjaan premium seperti Sunway Pyramid di Selangor dan mal-mal besar di Kuala Lumpur, membuka mata akan sebuah kenyataan yang menyindir.
Di antara gemerlap toko-toko berkelas internasional, perhatian kami terhenti pada sebuah restoran besar yang berdiri megah di pintu masuk utama "Ole-Ole Bali".
Tidak seperti restoran Indonesia di negeri sendiri yang sering kali tersembunyi di lorong-lorong mal atau dikelompokkan dalam food court yang seragam, Ole-Ole Bali menempati area premium.
Lokasi ini biasanya diperuntukkan bagi merek-merek internasional kelas atas seperti Gucci atau Louis Vuitton. Di sini, budaya Bali dihormati dan dikemas sebagai sebuah kebanggaan, menjadi daya tarik utama bagi pengunjung lokal maupun internasional.
Tidak kurang dari enam gerai restoran Ole-Ole Bali tersebar di mal premium di Kuala Lumpur dan Sunway Pyramid, yang dapat dilihat di situs resmi mereka, www.oleolebali.asia, atau melalui ulasan di TripAdvisor.
Namun, pemandangan ini mengundang ironi besar. Bagaimana mungkin budaya kita, yang menjadi identitas bangsa, lebih dihargai di negeri orang daripada di tanah air sendiri? Ole-Ole Bali tidak hanya menjual makanan, tetapi juga pengalaman, suasana khas Bali yang otentik dengan dekorasi yang mencerminkan keindahan Pulau Dewata.
Sungguh pemandangan yang menakjubkan, tetapi sekaligus menyakitkan ketika kita membandingkan dengan bagaimana budaya lokal sering kali diabaikan di ruang-ruang publik Indonesia.
Ketika Mal-Mal Kita Kehilangan Identitas
Mal di Indonesia saat ini seolah menjadi galeri bagi merek internasional: Bulgari, H&M, Zara, Starbucks, dan berbagai nama lain yang begitu asing dari akar budaya kita.
Nuansa Indonesia nyaris tak terasa. Masuklah ke salah satu mal di Jakarta, dan Anda akan merasa seperti berada di kota metropolitan mana pun di dunia -- tanpa ciri khas lokal.