Sesumbar. Kata ini terdengar sederhana namun menyimpan makna yang penuh warna. Ia meluncur ringan dari lidah, seolah menari-nari di udara, menguarkan aroma keberanian yang sering kali dibumbui kesombongan.Â
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sesumbar adalah bercakap besar, menyombong, atau menantang. Ia adalah bayangan dari keberanian palsu, tempat di mana janji-janji besar sering menggema tanpa dasar yang kokoh. Namun, sesumbar bukan sekadar kata, ia adalah cerminan sifat manusia.
Dalam keseharian, sesumbar menjadi alat bagi sebagian orang untuk menutupi rasa takut atau kekurangan. Mereka yang merasa lemah sering kali berlindung di balik kata-kata besar, berharap dunia mempercayai ilusi kekuatan yang diciptakan. Dari perspektif filsafat, sesumbar meminjamkan dirinya sebagai topeng keberanian yang rapuh.Â
Friedrich Nietzsche mungkin menyebutnya sebagai "jeritan batin seorang lemah yang ingin terlihat kuat." Sebuah bentuk kehendak untuk berkuasa, tetapi tanpa tindakan nyata untuk mendukungnya.Â
Di sisi lain, Plato mungkin akan berpendapat bahwa keberanian sejati tidak memerlukan sesumbar, karena keberanian adalah tindakan yang diwujudkan, bukan sekadar bunyi yang didengar.Â
Seperti gelombang di lautan, kata-kata megah dari sesumbar hanya menggulung di permukaan tanpa mengguncang dasar laut.
Dalam kebudayaan kita, sesumbar sering muncul di berbagai lapisan kehidupan. Ia terlihat dalam adu argumen di warung kopi, dalam pidato yang penuh janji, hingga di media sosial yang ramai.Â
Sesumbar menjadi panggung kecil bagi manusia untuk memainkan peran yang lebih besar dari dirinya sendiri. Namun, di balik semua itu, sesumbar adalah tanda bahwa manusia masih mencari cara untuk memvalidasi eksistensinya.Â
Sesumbar juga menarik dalam konteks sejarah. Dalam tradisi lama, sesumbar sering menjadi cara untuk menunjukkan kekuatan sebelum pertarungan. Di masa sekarang, sesumbar berubah menjadi cara untuk membangun citra, baik dalam politik, bisnis, maupun dunia hiburan. Tetapi seperti gema di pegunungan, sesumbar tanpa tindakan hanya akan hilang ditelan keheningan.
Sesumbar adalah paradoks. Ia bisa menjadi penghibur sekaligus peringatan. Dalam cermin kehidupan, sesumbar mengingatkan kita untuk tidak terjebak pada bayangan diri yang lebih besar dari kenyataan. Dunia tidak menilai seseorang dari kata-kata yang ia ucapkan, melainkan dari tindakan yang ia lakukan.
Di dunia fiksi, karakter Robert McCall dari Equalizer memberikan kontras yang tajam terhadap fenomena ini. McCall adalah figur yang tidak pernah sesumbar. Ketika menghadapi jaringan kejahatan besar, ia hanya bertindak. Sebuah panggilan telepon sederhana seperti, "Lihat gudang tua di pinggir pelabuhan," cukup menjadi sinyal bagi kehancuran jaringan kejahatan internasional.Â
McCall tahu, dunia tidak membutuhkan kata-kata besar untuk meruntuhkan ketidakadilan. Dunia membutuhkan tindakan nyata, senyap namun menghancurkan.
Sebaliknya, dunia silat seperti dalam Wiro Sableng penuh warna-warni sesumbar. Para tokoh berilmu rendah mengumbar kehebatan sebelum duel. Kalingundil salah satu lawan wiro tentu dengan sesumbar akan bisa mengalahkan wiro dengan pedangnya, namun sesumbernya tidak sehebat ilmunya... hanya beberapa jurus sudah terkapar.yang akhirnya kalah hanya dengan satu jurus Wiro.Â
Namun, ini adalah pesona dunia silat---di mana sesumbar menjadi hiburan tersendiri. Wiro, meski sering sembrono, memahami bahwa kehebatan sejati tidak diumbar, melainkan ditunjukkan lewat tindakan. Pesannya jelas: sesumbar adalah tanda jiwa yang belum matang.
Namun, dalam dunia nyata, sesumbar sering kali menjadi senjata terakhir para tersangka yang terpojok. Seorang petinggi partai berkata lantang di depan media, "Jika saya dijadikan tersangka, saya akan bongkar kejahatan besar.Â
Data dan vidio Korupsi tinggi sudah di amankan !" Pernyataan seperti ini mengundang perhatian sekaligus tawa sinis. Publik bertanya-tanya, apakah ini ancaman, sesumbar, atau sekadar refleks panik saat terpojok? Ada pola yang sering kita lihat, Â sesumbar menjadi alat untuk menciptakan narasi heroik yang penuh teka-teki.Â
Namun, publik semakin cerdas. Mereka bertanya, "Mengapa baru sekarang? Jika itu benar, kenapa tidak Anda ungkap dari dulu?"
Tanpa bukti nyata, sesumbar hanya menjadi bumerang. Ia menggiring pelaku pada opini publik yang lebih negatif.Â
Orang tidak hanya meragukan kredibilitas, tetapi juga mempertanyakan moralitas. Di sisi lain, ada yang memanfaatkan sesumbar untuk menyandera lawan politik atau jaringan yang lebih besar. Tetapi sering kali, drama ini hanya membuat publik lelah. Dunia tidak butuh lebih banyak retorika kosong. Dunia membutuhkan keberanian sejati untuk menghadapi kebenaran, bukan sekadar memainkannya sebagai senjata.
Sesumbar adalah bayangan dari hasrat manusia untuk terlihat lebih besar daripada dirinya. Namun, dalam dunia yang semakin kritis, sesumbar lebih sering menjadi bumerang.Â
Dunia tidak butuh kata-kata besar tanpa isi. Dunia membutuhkan ketenangan McCall, keberanian Wiro, dan kejujuran tindakan. Jika ada data besar, ungkapkan. Jika ada kebenaran, buktikan. Jika tak ada apa-apa, lebih baik berdiam dalam introspeksi daripada menjadi bahan tertawaan.
Seperti kata pepatah lama, "Anjing menggonggong, kafilah berlalu." Biarlah sesumbar menjadi pengingat bagi kita semua bahwa tindakan, bukan kata, yang menentukan nilai sejati manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H