Mohon tunggu...
Abdul Wahid Azar
Abdul Wahid Azar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Praktisi Bisnis

Menulis subtansi kehidupan, Jujur pada realitas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Sesumbar"

8 Januari 2025   16:05 Diperbarui: 8 Januari 2025   16:05 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sesumbar. Kata ini terdengar sederhana namun menyimpan makna yang penuh warna. Ia meluncur ringan dari lidah, seolah menari-nari di udara, menguarkan aroma keberanian yang sering kali dibumbui kesombongan. 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sesumbar adalah bercakap besar, menyombong, atau menantang. Ia adalah bayangan dari keberanian palsu, tempat di mana janji-janji besar sering menggema tanpa dasar yang kokoh. Namun, sesumbar bukan sekadar kata, ia adalah cerminan sifat manusia.

Dalam keseharian, sesumbar menjadi alat bagi sebagian orang untuk menutupi rasa takut atau kekurangan. Mereka yang merasa lemah sering kali berlindung di balik kata-kata besar, berharap dunia mempercayai ilusi kekuatan yang diciptakan. Dari perspektif filsafat, sesumbar meminjamkan dirinya sebagai topeng keberanian yang rapuh. 

Friedrich Nietzsche mungkin menyebutnya sebagai "jeritan batin seorang lemah yang ingin terlihat kuat." Sebuah bentuk kehendak untuk berkuasa, tetapi tanpa tindakan nyata untuk mendukungnya. 

Di sisi lain, Plato mungkin akan berpendapat bahwa keberanian sejati tidak memerlukan sesumbar, karena keberanian adalah tindakan yang diwujudkan, bukan sekadar bunyi yang didengar. 

Seperti gelombang di lautan, kata-kata megah dari sesumbar hanya menggulung di permukaan tanpa mengguncang dasar laut.

Dalam kebudayaan kita, sesumbar sering muncul di berbagai lapisan kehidupan. Ia terlihat dalam adu argumen di warung kopi, dalam pidato yang penuh janji, hingga di media sosial yang ramai. 

Sesumbar menjadi panggung kecil bagi manusia untuk memainkan peran yang lebih besar dari dirinya sendiri. Namun, di balik semua itu, sesumbar adalah tanda bahwa manusia masih mencari cara untuk memvalidasi eksistensinya. 

Sesumbar juga menarik dalam konteks sejarah. Dalam tradisi lama, sesumbar sering menjadi cara untuk menunjukkan kekuatan sebelum pertarungan. Di masa sekarang, sesumbar berubah menjadi cara untuk membangun citra, baik dalam politik, bisnis, maupun dunia hiburan. Tetapi seperti gema di pegunungan, sesumbar tanpa tindakan hanya akan hilang ditelan keheningan.

Sesumbar adalah paradoks. Ia bisa menjadi penghibur sekaligus peringatan. Dalam cermin kehidupan, sesumbar mengingatkan kita untuk tidak terjebak pada bayangan diri yang lebih besar dari kenyataan. Dunia tidak menilai seseorang dari kata-kata yang ia ucapkan, melainkan dari tindakan yang ia lakukan.

Di dunia fiksi, karakter Robert McCall dari Equalizer memberikan kontras yang tajam terhadap fenomena ini. McCall adalah figur yang tidak pernah sesumbar. Ketika menghadapi jaringan kejahatan besar, ia hanya bertindak. Sebuah panggilan telepon sederhana seperti, "Lihat gudang tua di pinggir pelabuhan," cukup menjadi sinyal bagi kehancuran jaringan kejahatan internasional. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun