Obrolan berlanjut ke dinamika politik. "Pak, belakangan ini ada riak-riak kecil bahkan gelombang besar, seperti drama politik yang terus muncul.
Apakah menurut Bapak semua ini berdiri sendiri, atau saling terkait seperti simbiosis mutualisme?"
Beliau tersenyum, sambil mengaduk teh di cangkirnya. "Hehehe, itu yang saya tidak tahu, Mas. Saya ini pensiunan, Mas, ingin tenang, makan sate enak, ngobrol santai seperti ini.
Kalau soal itu, biar fakta hukum yang bicara. Kalau memang ada keterkaitan, nanti juga akan terungkap."
Sambil mengaduk sambal sate buntel, beliau menambahkan, "Yang jelas, siapa yang menebar angin, dia yang akan menuai badai. Kalau ada yang mencoba membuat isu atau framing tanpa dasar, kebenaran pada akhirnya akan muncul.
Saya percaya, rakyat kita itu sudah pintar menilai."
Saya mencoba menggoda, "Pak, ini seperti kejadian gol tangan Tuhan di pertandingan sepak bola antara Inggris dan Argentina tahun 1986 ya? Waktu itu Maradona mencetak gol bukan dengan tendangan, tetapi dengan tangan yang tidak terlihat oleh wasit."
Beliau tertawa, sampai Ibu Iriana pun ikut tersenyum. "Hehehe, jangan samakan politik dengan Maradona, Mas. Saya ini bukan Maradona, yang bisa bikin gol tangan Tuhan.
Semua gol yang tercipta dalam politik adalah hasil kerja sama semua pihak.
Dan saya juga bukan wasit sepak bola, yang kalau salah tinggal pakai Video Assistant Referee (VAR) untuk mengubah keputusan. Negara ini punya mekanisme.
Putusan presiden itu bukan keputusan mandiri. Semua harus disepakati, DPR harus setuju. Kalau tidak, ya tidak jalan."