korupsi tata niaga timah yang menyeret nama Harvey Moeis dan beberapa terdakwa lainnya telah menjadi perbincangan hangat, terutama di dunia maya.
KasusVonis 6,5 tahun penjara untuk Harvey Moeis mendapat kritik tajam dari netizen, yang menyebut hukuman ini terlalu ringan dibandingkan kerugian negara yang disebut mencapai Rp 271 triliun.
Namun, di tengah hiruk-pikuk opini publik, apakah kita telah benar-benar memahami inti persoalan? Adakah vonis ini mencerminkan keadilan, atau sekadar terlihat ringan karena tekanan opini publik?
Mengurai Kesalahpahaman
Salah satu masalah utama dalam kasus ini adalah persepsi publik terhadap angka Rp 271 triliun. Banyak yang mengira ini adalah jumlah uang yang dikorupsi, tetapi kenyataannya angka tersebut mencakup potensi kerugian, termasuk dampak ekologis jangka panjang dari tata niaga timah yang tidak sesuai aturan.
Ini bukan uang yang dicuri langsung oleh para terdakwa, melainkan estimasi biaya pemulihan dan kerusakan lingkungan.
Lebih lanjut, peran Harvey Moeis dalam kasus ini tidak sebagai pelaku utama. Berdasarkan Pasal 55 KUHP tentang Deelneming atau Penyertaan, hakim mengkategorikan Harvey sebagai penyerta (medeplichtige), yang berarti ia tidak merancang atau memutuskan kebijakan, tetapi hanya terlibat secara tidak langsung.
Hal ini berimplikasi pada hukuman yang lebih ringan dibandingkan pelaku utama, seperti direktur perusahaan yang divonis 8 tahun penjara.
Trial by Netizen dan Ketidakadilan Persepsi
Media sosial telah menjadi ruang peradilan alternatif di mana opini netizen sering kali lebih memengaruhi persepsi publik daripada fakta hukum.
Dalam kasus ini, banyak yang fokus pada nama besar seperti Harvey Moeis, sementara peran masing-masing terdakwa diabaikan. Kritik bahwa vonis 6,5 tahun terlalu ringan sering kali muncul tanpa memahami pembagian tanggung jawab yang ditetapkan dalam persidangan.
Trial by netizen ini menciptakan risiko ketidakadilan baru, di mana seorang terdakwa dihukum dua kali: sekali oleh hukum, dan sekali lagi oleh opini publik.
Ketika publik tidak memahami peran terdakwa, vonis ringan dianggap sebagai bukti bahwa hukum memihak mereka yang berstatus sosial tinggi.
Padahal, hukum bekerja berdasarkan bukti dan asas kehati-hatian, seperti in dubio pro reo (dalam keraguan berpihak pada terdakwa) dan in criminalibus probationes debent esse luce clariores (bukti harus lebih terang dari cahaya).
Melihat Kasus Secara Menyeluruh
Keadilan tidak dapat dilihat hanya dari panjangnya hukuman. Dalam kasus ini, hakim telah mempertimbangkan peran masing-masing terdakwa.
Vonis untuk Harvey Moeis mencerminkan tanggung jawabnya sebagai penyerta, bukan pelaku utama. Pelaku utama, seperti direktur utama PT Timah, menerima hukuman lebih berat, yakni 8 tahun penjara.
Angka Rp 271 triliun juga harus dipahami dengan konteks yang benar.
Ini bukan uang yang sepenuhnya hilang, tetapi kerugian yang mencakup dampak lingkungan dan kehilangan potensi ekonomi. Hukuman yang dijatuhkan bukanlah cerminan dari angka tersebut, melainkan berdasarkan bukti keterlibatan individu dalam tindak pidana.
Menjaga Kepercayaan pada Sistem Hukum
Kritik publik terhadap kasus ini menunjukkan pentingnya transparansi dalam proses peradilan. Hakim dan jaksa perlu menjelaskan dengan jelas dasar vonis dan pembagian tanggung jawab terdakwa agar publik memahami bagaimana keadilan ditegakkan.
Sebaliknya, masyarakat juga perlu mengedukasi diri untuk melihat kasus ini secara menyeluruh, tidak hanya fokus pada nama besar atau angka besar yang sensasional.
Keadilan dalam kasus korupsi timah ini bukan tentang memuaskan opini publik, tetapi memastikan hukuman sesuai dengan peran dan bukti.
Vonis Harvey Moeis yang dianggap ringan bukanlah bukti bahwa hukum berpihak pada yang kuat, melainkan cerminan dari prinsip keadilan yang menempatkan perbuatan sebagai dasar hukuman.
Trial by netizen seharusnya tidak menggantikan prinsip-prinsip hukum yang teruji. Keadilan sejati hanya dapat dicapai jika kita melihat kasus ini dengan pikiran terbuka dan berdasarkan fakta, bukan persepsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H