Trial by netizen ini menciptakan risiko ketidakadilan baru, di mana seorang terdakwa dihukum dua kali: sekali oleh hukum, dan sekali lagi oleh opini publik.
Ketika publik tidak memahami peran terdakwa, vonis ringan dianggap sebagai bukti bahwa hukum memihak mereka yang berstatus sosial tinggi.
Padahal, hukum bekerja berdasarkan bukti dan asas kehati-hatian, seperti in dubio pro reo (dalam keraguan berpihak pada terdakwa) dan in criminalibus probationes debent esse luce clariores (bukti harus lebih terang dari cahaya).
Melihat Kasus Secara Menyeluruh
Keadilan tidak dapat dilihat hanya dari panjangnya hukuman. Dalam kasus ini, hakim telah mempertimbangkan peran masing-masing terdakwa.
Vonis untuk Harvey Moeis mencerminkan tanggung jawabnya sebagai penyerta, bukan pelaku utama. Pelaku utama, seperti direktur utama PT Timah, menerima hukuman lebih berat, yakni 8 tahun penjara.
Angka Rp 271 triliun juga harus dipahami dengan konteks yang benar.
Ini bukan uang yang sepenuhnya hilang, tetapi kerugian yang mencakup dampak lingkungan dan kehilangan potensi ekonomi. Hukuman yang dijatuhkan bukanlah cerminan dari angka tersebut, melainkan berdasarkan bukti keterlibatan individu dalam tindak pidana.
Menjaga Kepercayaan pada Sistem Hukum
Kritik publik terhadap kasus ini menunjukkan pentingnya transparansi dalam proses peradilan. Hakim dan jaksa perlu menjelaskan dengan jelas dasar vonis dan pembagian tanggung jawab terdakwa agar publik memahami bagaimana keadilan ditegakkan.
Sebaliknya, masyarakat juga perlu mengedukasi diri untuk melihat kasus ini secara menyeluruh, tidak hanya fokus pada nama besar atau angka besar yang sensasional.