Humor telah menjadi alat yang strategis dalam dunia politik. Sejak zaman klasik, humor digunakan sebagai sarana untuk menciptakan kedekatan, menyampaikan kritik, hingga membangun citra diri. Dalam teori modern, humor sering dilihat sebagai bentuk komunikasi yang mampu menembus batas formalitas tanpa menyinggung secara langsung.
Penelitian "Humor and Image Politics in Parliamentary Discourse: A Greek Case Study" oleh Tsakona (2009) menunjukkan bagaimana humor berfungsi dalam sidang parlemen Yunani.
Humor menjadi alat untuk membangun atau merusak citra publik, menyerang lawan tanpa melanggar norma kesopanan, dan menciptakan suasana informal yang mengalihkan perhatian dari isu sensitif. Studi ini menunjukkan bahwa humor bukan hanya alat hiburan, tetapi juga senjata politik yang strategis.
Komeng dan Cak Lontong, dua ikon humor Indonesia, membuktikan bahwa lelucon bukan sekadar hiburan, tetapi juga alat politik yang dapat membangun kepercayaan publik. Dengan gaya khas masing-masing, mereka membawa humor ke ranah politik dengan cara yang inovatif dan efektif.
Komeng di DPD, Tawa yang Mendulang Suara
Ketika nama Komeng muncul di daftar calon anggota DPD RI, banyak yang mengira itu hanya lelucon. Namun, dengan gaya khasnya yang santai dan penuh humor, Komeng berhasil meraih suara terbanyak di Jawa Barat.
"Saya ini nggak kampanye, cuma ngajak ngobrol sambil ketawa. Ternyata itu sudah cukup buat bikin orang percaya," kata Komeng saat diwawancarai.
Salah satu momen ikonik terjadi saat pelantikan anggota DPD RI. Ketika namanya dipanggil, terdengar teriakan "Uhuy!" dari peserta sidang, merujuk pada jargon khas Komeng. Alih-alih terganggu, Komeng menanggapinya dengan senyuman, menambahkan nuansa ceria dalam acara formal tersebut.
Dalam sidang paripurna DPD RI, Komeng menyuarakan ketidakpuasannya dengan penempatan di komite yang tidak sesuai dengan keahliannya. Dengan gaya humor, ia berkata, "Ini dapil saya di Jabar nih banyakan emak-emak, Pimpinan."
Pernyataan ini tidak hanya mengundang tawa, tetapi juga menyampaikan pesan serius tentang pentingnya penugasan yang tepat bagi anggota dewan.
Selain itu, saat menghadiri rapat paripurna penetapan pimpinan DPD, Komeng berkelakar, "Kalau saya yang mimpin, ini gedung roboh," menunjukkan kerendahan hati dan kemampuannya mencairkan suasana tegang dengan humor.
Komeng juga pernah menyampaikan kritik terhadap birokrasi yang lambat dengan berkata, "Kalau siput ikut seleksi CPNS, bisa jadi lebih cepat dari pelayanan yang sekarang."
Terpilihnya Komeng sebagai anggota DPD RI dengan perolehan suara terbanyak di Jawa Barat menunjukkan bahwa pendekatan humor dapat menjadi strategi efektif dalam politik.
Dengan tetap mempertahankan ciri khasnya, Komeng berhasil mendekatkan diri kepada masyarakat, membuktikan bahwa politik tidak selalu harus serius dan kaku.
Cak Lontong: Dari Komedian ke Timses Pilgub DKI
Jika Komeng sukses di DPD, maka Cak Lontong mengambil peran berbeda di kancah politik sebagai Ketua Tim Pemenangan pasangan Pramono Anung-Rano Karno di Pilgub DKI Jakarta. Dengan slogan khasnya, "Mikir!," Cak Lontong membawa angin segar ke dunia kampanye yang biasanya tegang.
Pramono Anung menjelaskan bahwa pilihan menjadikan Cak Lontong sebagai ketua tim sukses adalah untuk menghadirkan suasana gembira dalam kontestasi politik. "Kami ingin tim ini menjadi tim yang bergembira ria tapi tetap serius. Nama Cak Lontong sudah cukup menjelaskan semuanya," ujar Pramono saat kunjungannya ke Museum Bang Yos.
Cak Lontong pun menegaskan strateginya dalam kampanye: membahagiakan warga Jakarta sambil menyampaikan pesan dengan humor. Salah satu momen ikonik adalah saat ia menjelaskan program calon gubernurnya.
"Kami akan membuat jalan tol yang gratis, tapi cuma untuk jalan kaki. Jadi, sehat iya, hemat juga iya!" Pernyataan ini bukan hanya mengundang tawa, tetapi juga membuka diskusi tentang pentingnya infrastruktur ramah pejalan kaki.
Peran Cak Lontong sebagai juru bicara kampanye membawa pendekatan baru dalam politik. Alih-alih menyerang lawan, ia memilih humor untuk menyampaikan kritik.
 "Kita nggak perlu nyindir lawan. Kalau program kita bagus, mereka sudah nyindir diri sendiri," katanya sambil tersenyum.
Humor dalam Politik
- Gus Dur: Presiden ke-4 Indonesia ini adalah master humor politik. Salah satu leluconnya yang terkenal adalah, "Di Indonesia, hanya ada tiga polisi yang jujur: patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng." Dengan humor ini, ia menyampaikan kritik tajam tanpa menimbulkan permusuhan.
- Barack Obama: Mantan Presiden AS sering menggunakan humor untuk membangun hubungan dengan rakyat. Dalam sebuah acara, ia berkata, "Beberapa orang bilang saya lahir di Kenya. Saya hanya ingin memastikan, saya lahir di Krypton." Â Â Â Â Â
- Winston Churchill: Churchill sering menggunakan humor untuk menguasai debat. Ketika seorang wanita berkata, "Jika Anda suami saya, saya akan mencampur racun di teh Anda," Churchill menjawab, "Kalau saya suami Anda, saya akan meminumnya."
Tawa sebagai Alat Politik
Humor telah membuktikan dirinya sebagai alat politik yang kuat. Baik Komeng maupun Cak Lontong menunjukkan bahwa humor bukan hanya hiburan, tetapi juga cara untuk membangun hubungan dengan rakyat, menyampaikan kritik, dan bahkan memenangkan suara.
Komeng berhasil menjadi anggota DPD RI dengan suara terbanyak di Jawa Barat, mengalahkan banyak tokoh besar lainnya.
Sementara itu, Cak Lontong membawa suasana segar ke dunia kampanye Pilgub DKI dengan pendekatan humor yang cerdas, mendukung Pramono Anung dan Rano Karno untuk menciptakan Jakarta yang lebih baik.
Eit, jangan lupa, politik memang serius, tapi dengan humor, segalanya terasa lebih ringan. Kalau semua politisi seperti Komeng dan Cak Lontong, mungkin rapat DPR akan lebih sering diiringi tawa daripada adu argumen panas.
Karena di ujung hari, bukankah kita semua butuh sedikit tawa untuk menjalani kehidupan ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H