Mohon tunggu...
Abdul Wahid Azar
Abdul Wahid Azar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Praktisi Bisnis

Menulis subtansi kehidupan, Jujur pada realitas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mundurnya Gus Miftah, Merdeka dari Conflict of Interest

8 Desember 2024   07:51 Diperbarui: 8 Desember 2024   09:38 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) pernah berkata pada ceramah di muat di youtube, dengan ringan namun penuh filosofi, "Aku bukan siapa-siapa. Aku bukan pejabat, aku bukan kiai, aku mung koncomu." Sebuah ungkapan yang menyiratkan kebebasan untuk berpikir, bertindak, dan berbicara tanpa dibebani label atau formalitas jabatan. Kebebasan ini, yang mungkin tampak sederhana, adalah sebuah kemewahan di dunia pejabat publik yang selalu diawasi.

Mungkin inilah yang dirasakan Gus Miftah ketika memutuskan mundur dari jabatan Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama. Sebagai seorang pendakwah yang dikenal dengan humor khas dan gaya santainya, Gus Miftah adalah sosok yang terbiasa memecah suasana dengan candaan ringan. Tapi ketika humor itu berbenturan dengan dunia formalitas pejabat publik, apa yang biasanya hanya membuat jamaah tertawa, malah menjadi isu nasional yang penuh kritik.

Merdeka dari Manajemen Amplop

Gus Miftah adalah pendakwah dengan pendekatan yang unik. Ceramahnya selalu diwarnai kelakar segar yang membuat jamaah merasa seperti ngobrol santai dengan sahabat lama. Bahkan, melibatkan pelawak seperti Cak Percil Cs di panggung dakwahnya adalah hal yang biasa, menciptakan suasana meriah tanpa kehilangan pesan moral. Tapi ketika Gus Miftah melangkah ke dunia pejabat publik, cerita ini berubah drastis.

Sebagai pejabat publik, setiap langkah beliau otomatis di bawah sorotan masyarakat. Bukan hanya soal apa yang disampaikan, tetapi juga apa yang diterima. Nah, di sinilah muncul dilema amplop---sebuah topik yang bisa bikin pusing bahkan untuk yang biasa misuh-misuh di atas mimbar.

Bayangkan skenario ini: Gus Miftah sedang ceramah di sebuah acara. Setelah selesai, panitia memberikan amplop sebagai tanda terima kasih. Tapi, sebagai utusan presiden, amplop itu bukan lagi sekadar honor pribadi. Netizen dan media langsung bereaksi: "Itu amplop ceramah atau gratifikasi?"

Bagi Gus Miftah, amplop itu mungkin cuma simbol penghargaan. Tapi bagi KPK? Bisa jadi bahan diskusi serius! Kalau ceramahnya dilakukan atas nama tugas negara, amplop itu harus dilaporkan sebagai bagian dari tugas publik. Tapi kalau ceramah itu dalam kapasitas pribadi, bagaimana cara memisahkan status beliau sebagai Gus yang pendakwah dari Gus yang pejabat?

"Dilema amplop" ini jadi perdebatan serius. Apakah harus dibuat dua amplop? Satu bertuliskan "untuk Gus Miftah pribadi" dan satu lagi bertuliskan "untuk Gus Miftah pejabat"? Atau panitia acara perlu menyiapkan dokumen resmi yang menjelaskan bahwa amplop ini halal dunia-akhirat?

Begitu di buka perbadingannya  eh. ..... "mburu uceng kelangan deleg" ? 

Merdeka dari Konflik Jabatan

Sebagai pejabat publik, Gus Miftah menghadapi ekspektasi besar. Setiap tindakan, ucapan, dan bahkan niatnya diukur dengan standar yang lebih tinggi. Ketika beliau memilih mundur, itu adalah bentuk kemerdekaan dari tekanan jabatan yang kerap membawa konflik kepentingan.

Kini, Gus Miftah bisa kembali ke akar dakwahnya: berbicara dengan bebas, menyampaikan pesan moral dengan humor, tanpa harus terjebak dalam dilema formalitas atau sorotan media. Beliau merdeka dari amplop yang menjadi isu, dari candaan yang diperdebatkan, dan dari tekanan untuk selalu terlihat sempurna sebagai pejabat.

Merdeka, untuk tetap menjadi  Gus Miftah

Dengan langkah ini, Gus Miftah mengukuhkan dirinya sebagai pendakwah yang tetap dekat dengan rakyat. Tanpa embel-embel jabatan, beliau bisa kembali fokus pada misinya untuk menyampaikan kebaikan dengan cara yang santai dan menghibur.

Seperti Cak Nun yang memilih jalur bebas dari formalitas, Gus Miftah kini merdeka untuk kembali menjadi dirinya sendiri. Dalam keputusan ini, ada pesan penting bagi pejabat publik lainnya: bahwa kemerdekaan sejati bukan soal jabatan, tetapi soal integritas untuk tetap menjadi diri sendiri, tanpa konflik kepentingan.

Mundurnya Gus Miftah adalah keputusan yang menunjukkan bahwa jabatan publik tidak selalu berarti kemuliaan. Terkadang, melepaskan jabatan adalah cara untuk menjaga kebebasan berpikir, berbicara, dan bertindak.

Kini, Gus Miftah adalah sosok yang merdeka---merdeka dari konflik jabatan, dari dilema amplop, dan dari tekanan netizen. Dan pada akhirnya, seperti kata Cak Nun, "Aku bukan siapa-siapa. Aku mung koncomu." Gus Miftah kini kembali menjadi konco yang bebas, tanpa harus memikirkan apa-apa selain menyampaikan kebaikan dengan humor dan ketulusan.

Karena pada akhirnya, merdeka itu bukan soal jabatan, tapi soal tetap bisa menjadi diri sendiri. Dan Gus Miftah tahu betul bagaimana caranya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun