Mohon tunggu...
Abdul Wahid Azar
Abdul Wahid Azar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Praktisi Bisnis

Menulis subtansi kehidupan, Jujur pada realitas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Narasi Imajiner (2) Gibran Melewati Badai, Meraih Pelangi, Fokus pada Kesejahteraan Rakyat

2 Desember 2024   13:38 Diperbarui: 2 Desember 2024   13:47 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret Kemiskinan Indonesia (foto Kompas.com).

Catatan Penulis, Baca Narasi Imajiner 1, agar pemahaman narasi ini utuh.

Malam itu, dalam imajinasi saya, Gibran dan saya duduk di ruang sederhana namun penuh kehangatan. Sebagai Wakil Presiden, ia tahu tanggung jawabnya besar. Dua program utama menjadi fokusnya: reformasi layanan BPJS dan pengentasan stunting. Tetapi, Gibran ingin memastikan bahwa program-program ini tidak hanya tampak baik di permukaan, tetapi benar-benar berdampak nyata pada kehidupan rakyat.

"Pak," katanya memulai, "saya ingin dua program ini menjadi tonggak perubahan. Reformasi BPJS untuk menghapus stigma layanan kesehatan, dan pengentasan stunting melalui program makan bergizi gratis yang benar-benar tepat sasaran. Tapi saya ingin mendengar pendapat Anda. Apa yang harus saya perhatikan?"

Saya menatap Gibran, merasakan tekad besar dalam suaranya.

Reformasi BPJS Memanusiakan Manusia

"Mas," saya memulai, "reformasi BPJS adalah langkah besar. Anda tahu, rakyat masih mengeluhkan antrean panjang, birokrasi berbelit, dan perlakuan berbeda dibandingkan pasien asuransi pribadi. BPJS ini harus menjadi simbol keadilan, bukan pembeda status."

Saya memberikan contoh, "Lihat Malaysia dengan Klinik 1Malaysia. Mereka menyediakan layanan kesehatan dasar murah dan mudah diakses. Biayanya hanya 1 ringgit, tetapi dampaknya besar. Masyarakat merasa dihargai karena fasilitas ini ada di dekat mereka. Mas Gibran, bayangkan jika kita memiliki konsep serupa, di mana layanan BPJS menjadi pusat perhatian dan dibuat semudah mungkin."

Gibran mengangguk, memahami ide itu.

"Mas," saya melanjutkan, "Kita juga bisa belajar dari Kamboja dengan Health Equity Fund (HEF). Mereka memberikan layanan kesehatan gratis untuk masyarakat miskin, mencakup transportasi, makanan selama rawat inap, dan subsidi obat-obatan. Pendekatan ini menunjukkan bahwa layanan kesehatan bukan sekadar pengobatan, tetapi juga memperhatikan keseluruhan kebutuhan pasien.

BPJS harus bisa seperti ini, Mas. Teknologi harus dimanfaatkan agar rakyat bisa memilih jadwal dokter dan fasilitas kesehatan melalui aplikasi, seperti Pak Yono dari Brebes yang tidak perlu antre lama. Atau Bu Susi dari Deli Serdang yang langsung mendapatkan barcode digital untuk perawatan di rumah sakit terdekat. Yang penting, Mas, petugas medis harus melayani dengan hati, tanpa membeda-bedakan."

Pengentasan Stunting dan Makan Bergizi Gratis: Tepat Sasaran

 

Gibran kemudian berbicara, "Pak, program makan bergizi gratis ini penting untuk menangani stunting. Tapi saya khawatir kalau program ini salah sasaran."

Saya tersenyum, memahami kekhawatirannya.

"Mas, Anda benar. Program ini harus berdasarkan data. Jangan sampai Anda memberikan makanan bergizi gratis kepada anak SMA yang sebenarnya lebih sibuk menjaga berat badan agar terlihat langsing untuk foto profil media sosial mereka. Itu jelas tidak relevan."

Gibran tersenyum kecil mendengar analogi itu, dan saya melanjutkan.

"Mas, lihat Kamboja dengan program Cash Transfer for Pregnant Women and Children Under Two. Mereka memberikan bantuan tunai langsung kepada ibu hamil dan keluarga yang memiliki anak di bawah usia dua tahun. Sasarannya jelas: kelompok usia rentan yang benar-benar membutuhkan.

Di Malaysia, program PERMATA menyediakan pendidikan, nutrisi, dan pengasuhan untuk anak usia dini dari keluarga miskin. Mereka tidak hanya memberikan makanan, tetapi juga mendukung perkembangan kognitif dan kesehatan anak.

Mas Gibran, kita bisa mengadopsi pendekatan ini. Targetkan program makan bergizi gratis pada balita, ibu hamil, dan anak-anak usia dini di daerah miskin. Integrasikan dengan edukasi gizi dan pemeriksaan kesehatan. Kolaborasikan dengan komunitas lokal untuk memastikan program ini berjalan efektif dan tidak hanya menjadi simbol."

Tanpa Pencitraan Murahan

"Mas," saya berkata dengan nada lebih tegas, "rakyat tidak butuh gimik. Anda tidak perlu naik pesawat ekonomi atau membagi susu di depan kamera hanya untuk terlihat merakyat. Yang rakyat butuhkan adalah kebijakan---kebijakan yang berdampak nyata pada hidup mereka."

Saya melanjutkan, "Fasilitas negara itu diberikan bukan untuk Anda pamerkan dengan tidak menggunakannya, tetapi untuk mendukung pekerjaan Anda. Gunakan fasilitas itu dengan bijak, fokuslah pada kebijakan yang membawa perubahan. Jangan habiskan energi untuk pencitraan yang hanya menambah beban, tapi tidak berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat."

Gibran mengangguk, terlihat semakin memahami.

Pembiayaan yang Transparan dan Tanggung Jawab

"Mas," saya melanjutkan, "Program-program besar seperti ini membutuhkan dana yang besar. Pastikan rakyat tahu bahwa dana ini tidak membebani APBN. Katakan dengan jelas bahwa Anda mendapatkan dukungan dari World Bank, UNESCO, dan NGO internasional dalam bentuk hibah yang tidak mengikat. Transparansi dalam pembiayaan akan membangun kepercayaan rakyat pada Anda."

"Mas Gibran," saya berkata dengan nada lebih lembut, "Anda punya peluang besar untuk meninggalkan warisan yang berarti. Reformasi BPJS dan pengentasan stunting ini bukan hanya soal memenuhi kebutuhan rakyat, tetapi juga soal mengembalikan martabat mereka.

Bayangkan wajah Pak Yono yang tersenyum lega karena tidak perlu antre panjang. Bayangkan Bu Susi yang merasa dihargai karena mendapat layanan kesehatan setara. Bayangkan balita-balita di pelosok Indonesia yang tumbuh sehat karena program gizi yang tepat sasaran.

Mas, rakyat tidak akan mengingat seberapa merakyat Anda terlihat di depan kamera. Mereka akan mengingat kebijakan Anda yang mengubah hidup mereka. Jadi, jadilah pemimpin yang membawa perubahan nyata."

Dalam imajinasi saya, Gibran tersenyum kecil, lalu menatap saya dengan penuh keyakinan.

"Pak," katanya, "Saya akan memastikan kedua program ini berjalan dengan baik. Terima kasih atas nasihat Anda."

Saya tersenyum lega. Malam itu, saya percaya bahwa Gibran memahami apa yang harus dilakukan. Dalam imajinasi ini, ia siap melewati badai dan meraih pelangi yang menunggu di ujung perjalanan. Karena rakyat tidak butuh gimik, mereka butuh kebijakan yang membawa harapan dan perubahan nyata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun