tukang." Halah, siapa sih yang bikin istilah ini? Sumpah, nggak cocok banget sama kehidupan kita di Indonesia. Kalau di Indonesia, panggil tukang itu udah kayak napas wajib, otomatis, dan nggak pernah ada habisnya. Mau genteng bocor, dinding retak, atau hati remuk karena mantan, semuanya bisa diatasi tukang. Bahkan kalau bisa, kita bikin penghargaan khusus: Tukang Awards, kategori "Solusi Segala Problem". Karena serius, tukang itu pahlawan kita semua.
"Dikit-dikit panggilCoba bayangin hidup tanpa tukang. Genteng bocor? Mau benerin sendiri, eh, malah gentengnya tambah hancur. Dinding retak? Sok-sokan tambal pakai semen, malah semennya nyiprat ke muka. Kalau nggak ada tukang, bisa-bisa hidup kita kayak serial drama TV---penuh konflik dan ending-nya tetap harus panggil tukang. Jadi ya, jangan remehkan kekuatan panggil tukang. It's not laziness, it's strategy.
Dan, hei, tukang di Indonesia itu beda level, loh. Mereka bukan cuma tukang biasa, tapi tukang alternatif. Maksudnya? Ya, mereka selalu punya solusi yang bikin kita hemat, nggak bikin dompet nangis. Contohnya, bayangin mobil kamu rusak dinamo starter. Kalau kamu pergi ke bengkel resmi, mereka langsung bilang, "Pak, harus ganti dinamo baru, biayanya Rp5 juta."
Dan kita cuma bisa mikir, "Dinamo segitu mahal? Jangan-jangan isinya emas 24 karat?" Tapi coba kalau kamu pergi ke tukang dinamo di pinggir jalan. Mereka cuma lihat, cek spulnya, ganti yang rusak, dan voil, mobil jalan lagi. Biayanya? Paling Rp200 ribu. Hemat banget, kan? Makanya tukang tuh seperti malaikat tanpa sayap---cuma pakai tang dan obeng.
Tapi ada yang lebih lucu. Kadang kita sok-sokan niru bule punya kebiasaan  DIY alias Do It Yourself.
Wah, ini nih biangnya malapetaka. Misalnya, mau pasang paku di tembok. Palu udah di tangan, tembok udah dibidik, eh, yang kena malah jari sendiri. Pakunya lompat, muka jadi sasaran.
Ending-nya? Kita ke rumah sakit buat jahit luka, dan biayanya lebih mahal daripada panggil tukang dari awal. Kalau dihitung-hitung, DIY itu singkatannya bukan Do It Yourself, tapi "Don't Injure Yourself." Pelajaran penting, jangan coba-coba jadi tukang kalau kamu cuma punya mental YouTube tutorial.
Lanjut, ada cerita soal tukang pijat. Ini juga favorit orang Indonesia. Kalau badan pegal, langsung panggil tukang pijat. Kalau keseleo, langsung cari tukang urut. Bahkan untuk hal-hal serius kayak patah tulang, masyarakat kita lebih percaya tukang patah tulang tradisional daripada dokter spesialis. Mereka datang bawa minyak kelapa, mantra, dan tangan ajaib. Kita sembuh dalam hitungan menit, tanpa perlu bayar mahal. Tapi kalau ke rumah sakit? Ya ampun, biaya konsultasi dokternya aja bisa bikin dompet ikut keseleo. Makanya, tukang pijat itu bagaikan superhero lokal: murah, ampuh, dan nggak pakai ribet.
Oh, dan jangan lupa, tukang di Indonesia itu nggak cuma ahli, tapi juga stand-up comedian dadakan. Misalnya, tukang genteng yang lagi naik-naik pasang atap, sambil bercanda bilang, "Pak, gentengnya kuat, tapi jangan sampai rumah tangganya ikut bocor, ya." Siapa yang nggak ketawa? Atau tukang ledeng yang ngomong, "Airnya ngalir deras, Pak. Semoga rejekinya juga lancar." Tukang kita nggak cuma benerin barang, tapi juga benerin mood yang lagi berantakan.
Sekarang, bandingin sama luar negeri. Di sana, DIY itu udah jadi kebiasaan. Atap bocor? Mereka buka YouTube, beli alat di Home Depot, dan coba benerin sendiri. Tapi di Indonesia? Buat apa susah-susah DIY kalau ada tukang yang siap bantu? Prinsip kita simpel: "Ngapain kerja dua kali kalau bisa bayar sekali?" Dan ini bukan malas, ya, tapi lebih ke efisiensi waktu. Lagipula, di Indonesia, tukang itu murah. Bayar Rp100 ribu, masalah selesai. Kalau di luar negeri? Panggil tukang bisa kena ratusan dolar. Jadi wajar aja kalau mereka lebih milih benerin sendiri.
Eh, tapi tunggu. Kalau kamu sok-sokan jadi orang luar negeri dan DIY semua, siap-siap aja dengan risiko lebih mahal. Contoh nyata, kamu mau benerin pipa air yang bocor. Kamu beli pipa baru, coba pasang sendiri, eh, ternyata salah sambung. Air muncrat ke mana-mana, rumah banjir. Akhirnya, tetap panggil tukang juga. Jadi buat apa capek-capek DIY kalau ujungnya panggil tukang? Mending dari awal langsung serahkan ke ahlinya.
Kesimpulannya? Jangan pernah malu panggil tukang. Tukang itu bukan tanda kita malas, tapi tanda kita pintar. Kita tahu kapan harus menyerahkan pekerjaan ke yang lebih ahli. Dan yang lebih penting, tukang itu nggak cuma nyelamatin barang-barang kita, tapi juga dompet dan mental kita dari drama hidup. Jadi, kalau ada yang bilang "dikit-dikit panggil tukang," jawab aja dengan bangga: "Iya, karena tukang di Indonesia itu solusi segala masalah. Kalau nggak ada tukang, hidup bakal lebih mahal dan lebih drama!"
Kalau genteng bocor, langsung panggil tukang, jangan panggil tetangga, apalagi mantan. Percaya deh, mantan itu bukannya benerin genteng, malah bikin bocor lebih parah. Kenapa? Soalnya, kalau lihat dia lagi naik pelaminan sama orang lain, kita yang bocor... air mata ngalir deras kayak hujan semalaman!
Jadi masih mau dikerjakan sendiri ?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H