film, ia adalah perjalanan, sebuah cermin yang memantulkan wajah budaya lokal kita yang kian memudar di tengah gemerlap modernitas. Lewat tangan Bayu Skak, seorang arek Malang yang mencintai akar budayanya, film ini tidak hanya berbicara, tetapi berteriak lantang bahwa budaya lokal adalah jati diri yang tak boleh mati.
Ada sesuatu yang tak biasa dari Yowis Ben. Ia tidak sekadarLuka Lama Budaya yang Terpinggirkan
Ludruk, seni rakyat yang pernah mengguncang panggung Jawa Timur, kini seperti pengembara di tanah asing. Namanya ada, tetapi rohnya hampir hilang. Dalam Yowis Ben, Bayu Skak mencoba menghidupkan kembali seni yang terpinggirkan ini. Adegan Cak Kartolo dan Cak Sapari di warung pecel bu Jum (ibunda Bayu) bukan hanya komedi biasa. Itu adalah pengingat pahit tentang betapa budaya ini pernah menjadi denyut kehidupan rakyat, dan kini perlahan tergantikan oleh layar-layar modern yang terlalu cepat berganti gambar.
Dialog ceplas-ceplos mereka adalah tawa getir, menyisipkan humor yang tidak hanya menghibur, tetapi juga menyayat. Setiap kata seperti memanggil kita untuk berhenti sejenak dan bertanya, "Apa yang telah kita lakukan pada warisan ini?"
Bahasa yang Menghidupkan Jiwa
Ada sesuatu yang magis ketika bahasa Jawa memenuhi layar lebar. Dalam dunia yang sering kali mengagungkan satu bahasa global, Yowis Ben dengan berani menyodorkan identitas lokalnya. Bahasa Jawa dalam film ini bukan sekadar alat komunikasi, tetapi suara jiwa, penghubung masa lalu dan masa kini.
Bayu Skak menggunakan bahasa ini untuk membawa penonton masuk ke dunia yang lebih nyata, lebih intim. Tawa yang muncul dari guyonan khas Jawa Timur terasa lebih jujur, lebih hidup. Di balik setiap kata, ada kebanggaan yang perlahan kita lupakan. Film ini mengingatkan kita bahwa bahasa bukan hanya alat  ia adalah rumah, tempat kita kembali ketika dunia terasa asing.
Kisah Rakyat yang Dekat di Hati
Bayu, Doni, Yayan, dan Nando adalah cerminan rakyat kecil yang bermimpi besar. Mereka tidak sempurna, tetapi justru dalam ketidaksempurnaan itulah letak keindahan mereka. Kisah mereka bukan hanya tentang membentuk band atau memenangkan hati seseorang. Kisah mereka adalah tentang bertahan, tentang menemukan makna dalam hidup yang sering kali terasa terlalu rumit.
Warung pecel bu Jum adalah pusat dunia mereka, tempat di mana seni, tawa, dan kehidupan bertemu. Dalam kesederhanaan tempat ini, Yowis Ben menunjukkan bahwa budaya tidak harus megah untuk bermakna. Kadang, ia hidup dalam hal-hal kecil dalam sebuah guyonan, dalam sepiring pecel, dalam sebuah lagu yang dinyanyikan dengan sepenuh hati.
Heroisme yang Berbicara dalam Diam
Heroisme tidak selalu datang dalam bentuk revolusi besar. Dalam Yowis Ben, heroisme adalah keberanian untuk berkata, yo wis ben. Kata-kata itu, yang terdengar seperti pasrah, adalah manifestasi dari daya juang arek Jawa Timur. Ia bukan sekadar penerimaan, tetapi sebuah langkah kecil ke depan, sebuah keberanian untuk terus mencoba meskipun dunia tidak selalu berpihak.
Bayu dan teman-temannya mungkin tidak mengubah dunia, tetapi mereka mengubah cara kita melihat perjuangan. Mereka menunjukkan bahwa keberanian adalah tentang bertahan ketika segala sesuatunya terasa tidak mungkin.
Menusuk Hati, Menyala Kembali
Yowis Ben adalah film yang menusuk hati. Ia tidak hanya menyentuh permukaan, tetapi masuk ke inti, mengguncang kesadaran kita tentang apa yang telah kita tinggalkan. Seni tradisional, bahasa lokal, kisah rakyat kecil---semua ini pernah menjadi jantung kehidupan kita. Dan melalui film ini, Bayu Skak menghidupkan kembali denyut itu, meskipun hanya untuk sejenak.
Film ini bukan hanya tentang Jawa Timur. Ia adalah cerita tentang semua daerah yang budayanya terpinggirkan, tentang semua orang yang pernah merasa kehilangan jati diri mereka di tengah arus modernitas. Ia adalah pengingat bahwa akar kita, betapapun sederhana atau kecilnya, adalah yang membuat kita kokoh.
Lentera untuk Budaya yang Tak Boleh Padam
Yowis Ben adalah sebuah lentera kecil yang menerangi jalan gelap budaya lokal kita yang mulai kehilangan arah. Ia adalah seruan untuk kembali, untuk melihat ke dalam, dan untuk menghargai apa yang pernah membuat kita menjadi siapa kita hari ini. Dengan setiap tawa, setiap dialog, setiap lagu, film ini berbicara langsung ke hati, mengingatkan kita bahwa budaya lokal bukan hanya milik masa lalu. Ia adalah milik masa kini, milik kita.
Di tangan Bayu Skak, Yowis Ben menjadi lebih dari sekadar film. Ia adalah perlawanan. Ia adalah cinta. Ia adalah sebuah obor yang menyala terang, menolak untuk padam. Dan melalui obor ini, budaya lokal menemukan kembali suaranya.
Catatan Penulis : Fim Yowis Ben, Tanggal rilis: 22 Februari 2018. Sutradara: Bayu Skak, Fajar Nugros Cerita: Bayu Skak Skenario: Bagus Bramanti, Gea Rexy Bahasa: Jawa, Indonesia
Penata musik: Andhika Triyadi.
Film di rilis kembali :Â
Yowis ben 2 (2019) Â Yowis Ben 3 (2021 * Yowis Ben Finale (2021).
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H