Sayangnya, ketika mahasiswa sekarang lebih terpaku pada humor digital, humor ala kampus yang dulu pernah menjadi pelarian kini nyaris hilang. Mahasiswa lebih memilih melampiaskan keresahannya di kolom komentar, membuat meme, atau bikin tweet tajam di Twitter. Tentu ini sah-sah saja, tetapi kampus kehilangan bentuk humornya yang khas---humor yang lahir dari interaksi langsung, lelucon di kelas, dan sindiran terhadap aturan akademis.
Ironisnya, ketika humor kampus semakin hilang, politisasi kampus justru semakin nyata. Beberapa kampus ternama yang dulunya dikenal dengan standar akademik tinggi, kini malah jadi arena perebutan gelar instan. Sudah bukan rahasia lagi kalau beberapa politisi berhasil mendapatkan gelar doktor dalam waktu singkat. Kalau mahasiswa biasa harus bergelut bertahun-tahun untuk menyelesaikan disertasi, politisi cukup hadir dengan titel dan pengaruh, lalu gelar itu pun tiba. Bayangkan saja, seolah kampus berubah jadi restoran cepat saji, di mana ada menu "drive-thru doktoral" untuk mereka yang punya jabatan tinggi.
Bayangkan percakapan ini terjadi di gerai "Drive-Thru Doktoral":
Politisi: "Mas, pesan satu gelar doktor, ya. Tanpa skripsi, tanpa revisi, cukup dua tahun saja."
Petugas Drive-Thru: "Baik, Pak! Tambahkan nilai plus atau publikasi internasional?"
Politisi: "Wah, enggak usah, terlalu ribet. Yang penting saya punya gelar dulu. Kalau ada satu kursi menteri di partai saya, bisa langsung selesai, kan?"
Situasi ini membuat kita bertanya-tanya, ke mana kampus yang dulu dijaga kehormatannya? Kalau dulu mahasiswa 80-an harus menghadapi tantangan NKK/BKK, mahasiswa sekarang harus menghadapi fenomena drive-thru doktoral. Mungkin, di masa depan, kampus-kampus akan meniru konsep McDonald's atau KFC. Gelar-gelar akademik akan ditawarkan di etalase, lengkap dengan paket hemat dan menu tambahan.
Paket Drive-Thru Doktoral Super Hemat: Satu gelar doktor, satu publikasi fiktif, bonus ijazah S2 untuk asisten, dan satu kursi komisi di parlemen. Cukup bayar dengan satu kursi menteri!
Kembali ke Humor Kampus, Bukan Drive-Thru Gelar
Di tengah fenomena ini, kita perlu kembali pada humor kampus. Humor yang tumbuh dari kehidupan sehari-hari, yang menggambarkan perjuangan akademik, kritik terhadap aturan, dan sindiran pada sistem. Mahasiswa saat ini perlu menyadari bahwa tertawa di kampus bukan hanya soal menikmati hidup, tapi juga soal mengkritisi tanpa kebencian. Humor kampus adalah budaya yang layak dilestarikan karena ia menjadi penyeimbang, di mana mahasiswa bisa menertawakan sesuatu sambil tetap berpikir kritis.
Bayangkan kalau mahasiswa bisa kembali membuat lelucon yang membumi dan kritis, seperti dulu saat membaca Humor Mahasiswa adalah satu-satunya hiburan. Seperti kata mahasiswa pada dosennya di era 80-an: