Mohon tunggu...
Abdul Wahid Azar
Abdul Wahid Azar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Praktisi Bisnis

Menulis subtansi kehidupan, Jujur pada realitas

Selanjutnya

Tutup

Humor

Ketika Kampus Menjadi Drive-Thru Gelar Doktor

2 November 2024   16:53 Diperbarui: 2 November 2024   17:41 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu Ajang Komedian di Kompas TV (Kompas TV)

Ketika saya masuk perguruan tinggi di era 80-an, situasi kampus kala itu bukan hanya tempat belajar, tapi juga "medan pertempuran" ideologi. Pemerintah Orde Baru menerapkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK), di bawah Menteri Pendidikan saat itu, Daoed Joesoef. Dengan tujuan mulia---katanya untuk menjaga marwah akademik---kebijakan ini melarang mahasiswa terlibat politik. Dalam bahasa kampus, itu artinya semua mahasiswa "kudu diem" dan fokus belajar. Hasilnya? Mahasiswa jadi makin penat, seperti mobil yang ditahan di lampu merah tanpa tahu kapan boleh jalan.

Namun, mahasiswa selalu punya akal. Daripada energi politik mereka dibuang percuma, mereka mencari pelarian yang lebih "halus" tapi menghibur: humor. Kala itu, Humor Mahasiswa karya Prof. James Danandjaja jadi semacam buku wajib bagi para mahasiswa yang frustasi dengan NKK/BKK. Buku ini penuh dengan kisah-kisah lucu, satire, dan kritik sosial yang dibalut humor cerdas. Ini semacam pelarian elegan; kalau tidak bisa kritik di ruang terbuka, ya kritik lewat lelucon.

Salah satu lelucon favorit mahasiswa saat itu adalah dialog antara mahasiswa dan dosen yang penuh sindiran halus:

Mahasiswa: "Pak, kenapa birokrasi kita lambat sekali?"

Dosen: "Kalau cepat, nanti mereka nggak ada kerjaan lagi, Nak."

Lelucon ini sederhana tapi kena! Di era di mana kritik terbuka bisa berujung intimidasi, humor menjadi cara aman bagi mahasiswa untuk menyuarakan isi hati mereka. Setiap kali mereka menemukan ketidakadilan, humor menjadi senjata. Dan rasanya, semakin tertindas, semakin kreatif leluconnya.

Orde Baru Tumbang, Era Reformasi Datang

Lalu, tahun-tahun berlalu, Orde Baru akhirnya tumbang. Era reformasi datang, membawa angin kebebasan ke segala penjuru negeri, termasuk kampus. Mahasiswa kini bisa berorganisasi, menyuarakan aspirasi tanpa harus takut diawasi, bahkan mulai kembali berpolitik secara terbuka. Dan karena kebebasan semakin luas, humor dalam bentuk buku seperti Humor Mahasiswa perlahan menghilang.

Era digitalisasi menggiring mahasiswa pada jenis humor yang baru. Generasi ini tak lagi butuh buku untuk menertawakan sesuatu; mereka punya media sosial, YouTube, dan platform lainnya. Raditya Dika muncul dengan Kambing Jantan dan Cinta Brontosaurus, membawa jenis humor yang lebih personal tapi tetap dekat dengan kehidupan mahasiswa. Konten humor jadi serba instan dan lebih bervariasi. Mahasiswa sekarang lebih suka konten singkat, mungkin karena rentang perhatian yang makin pendek.

Lalu ada stand-up comedy, yang memberikan panggung bagi para komika untuk mengkritik kehidupan sosial dan politik. Kiki Saputri bahkan punya segmen roasting, di mana dia secara kreatif dan berani mengkritik pejabat-pejabat. Mungkin isinya "hanya" lelucon, tapi minimal, publik tahu bahwa ada yang berani berbicara soal kekurangan pemimpin dengan cara yang cerdas.

Mahasiswa dan Humor Kampus yang Hilang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun