Baru-baru ini, Menteri HAM Natalius Pigai mengajukan permohonan tambahan anggaran sebesar Rp 20 triliun. Tujuan utamanya adalah mendirikan Universitas Hak Asasi Manusia (Unham), pusat studi HAM, dan laboratorium HAM, yang digadang-gadang akan menjadi satu-satunya di dunia.
Permintaan ini memicu perdebatan publik, karena anggaran sebesar itu dianggap terlalu besar di tengah keterbatasan fiskal negara. Pertanyaannya adalah, apakah perubahan di bidang hak asasi manusia hanya bisa dicapai dengan tambahan anggaran sebesar itu? Ataukah, ada alternatif lain yang lebih inovatif dengan biaya yang lebih efisien, bahkan tanpa anggaran tambahan alias "0 Rupiah"?
Pentingnya Prioritas dalam Penganggaran
Pengelolaan anggaran negara bukan hanya soal memenuhi kebutuhan sektor tertentu, melainkan soal menetapkan prioritas. Dalam konteks keterbatasan fiskal yang saat ini dihadapi oleh pemerintah, setiap kementerian harus bersaing untuk mendapatkan anggaran yang terbatas.
Saat Menteri HAM meminta Rp 20 triliun, hal ini bukan hanya soal jumlah uang, tetapi juga soal prioritas: apakah pengalokasian dana sebesar itu untuk HAM lebih penting daripada sektor-sektor lain, seperti pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur?
Di sinilah tantangan muncul. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat. Ketika anggaran terbatas, kreativitas dan inovasi dalam pengelolaan dana menjadi kunci.
Kementerian HAM harus mempertimbangkan apakah ada cara lain untuk mencapai tujuan besarnya tanpa harus meminta tambahan anggaran sebesar itu. Misalnya, melalui kolaborasi dengan universitas yang sudah ada, atau memanfaatkan teknologi digital untuk meningkatkan advokasi HAM.
Alternatif dengan Anggaran 0 Rupiah
Membangun institusi baru seperti Universitas HAM adalah langkah ambisius, tetapi apakah benar-benar perlu? Daripada membangun dari nol, Kementerian HAM dapat memanfaatkan infrastruktur pendidikan yang sudah ada di Indonesia. Banyak universitas negeri yang memiliki fakultas hukum, sosial, dan politik yang bisa menjadi tempat untuk mengembangkan program studi HAM.
Dengan demikian, tidak perlu anggaran besar untuk mendirikan kampus baru, melainkan cukup dengan menambah jurusan HAM di universitas yang sudah ada.
Selain itu, pusat studi HAM dan laboratorium HAM juga bisa dibangun melalui kemitraan dengan lembaga riset atau institusi internasional. Alih-alih memulai dari awal, Kementerian HAM bisa bekerjasama dengan organisasi HAM global, PBB, atau NGO HAM untuk menyediakan sumber daya dan dukungan teknis.
Kolaborasi ini tidak hanya akan menghemat anggaran, tetapi juga membuka akses ke jaringan internasional yang lebih luas, memperkuat pengaruh Indonesia di kancah global.
Pemanfaatan Teknologi Digital untuk Advokasi HAM
Di era digital, banyak hal bisa dicapai tanpa harus mengeluarkan biaya besar. Advokasi HAM, yang dulunya dilakukan melalui seminar, pertemuan fisik, dan kampanye tradisional, kini bisa dilakukan melalui platform digital.
Kementerian HAM bisa memanfaatkan media sosial, podcast, webinar, dan video online untuk menyebarkan kesadaran tentang hak asasi manusia. Konten digital ini bisa diakses oleh masyarakat luas, bahkan hingga ke pelosok negeri, dengan biaya yang jauh lebih rendah dibandingkan program-program konvensional.
Contoh sukses penggunaan teknologi digital dalam advokasi HAM bisa dilihat dari kampanye global yang dilakukan oleh organisasi-organisasi internasional seperti Amnesty International dan Human Rights Watch.
Dengan modal digital, mereka mampu menjangkau jutaan orang di seluruh dunia tanpa perlu anggaran besar. Hal ini menunjukkan bahwa dengan pendekatan yang tepat, advokasi HAM bisa efektif dilakukan dengan biaya minimal.
Pemanfaatan Sumber Daya Manusia dan Intelektual yang Ada
Indonesia memiliki banyak akademisi, praktisi hukum, dan aktivis HAM yang bisa menjadi sumber daya utama bagi Kementerian HAM. Alih-alih menghabiskan anggaran besar untuk mendirikan institusi baru, Kementerian HAM bisa memanfaatkan jaringan akademisi dan praktisi yang sudah ada untuk memperkuat program-program advokasinya. Mereka bisa dilibatkan dalam pelatihan, seminar, dan penelitian tentang HAM, tanpa perlu investasi besar dalam infrastruktur fisik.
Selain itu, Kementerian HAM juga bisa memperkuat kerjasama dengan universitas yang sudah memiliki program studi terkait HAM. Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan universitas-universitas lainnya bisa menjadi mitra strategis dalam pengembangan kurikulum dan riset HAM. Dengan demikian, biaya untuk mendirikan Universitas HAM bisa dihindari, sementara tujuan besar untuk memajukan HAM di Indonesia tetap tercapai.
Refleksi, Â Apakah Anggaran Rp 20 Triliun Mutlak Diperlukan?
Dalam konteks pengelolaan negara, anggaran besar bukan selalu menjadi solusi. Lebih penting lagi adalah bagaimana dana yang ada digunakan secara efektif dan efisien. Dalam kasus Kementerian HAM, tambahan anggaran sebesar Rp 20 triliun mungkin memang diinginkan untuk mencapai ambisi besar seperti mendirikan Universitas HAM, tetapi ada banyak cara lain yang lebih efisien untuk mencapai tujuan yang sama.
Tantangan sebenarnya bagi Kementerian HAM bukan hanya soal mendapatkan anggaran besar, tetapi bagaimana memaksimalkan sumber daya yang ada untuk memberikan dampak maksimal.
Melalui inovasi, kolaborasi, dan pemanfaatan teknologi, Kementerian HAM bisa tetap mencapai tujuannya tanpa harus mengandalkan anggaran tambahan. Justru, pendekatan yang lebih kreatif dan efisien inilah yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah-masalah HAM di Indonesia secara lebih luas dan berkelanjutan.
Kementerian HAM menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan anggaran dan mencapai target ambisiusnya. Namun, daripada fokus pada tambahan anggaran yang besar, solusi yang lebih berkelanjutan dan inovatif adalah bagaimana memanfaatkan infrastruktur yang sudah ada, memperkuat kolaborasi, dan memaksimalkan teknologi digital.
Dalam dunia yang semakin terhubung dan efisien, tambahan anggaran sebesar Rp 0 rupiah bukanlah hambatan, melainkan peluang untuk berpikir di luar kotak dan menemukan solusi baru.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI