Kita barangkali tidak sulit membaca realitas yang sedang atau sekian lama bergulat, bahwa ada ragam problem yang terjadi di tengah masyarakat.Â
Dan problem yang sedang menghimpit masyarakat Indonesia ini layak atau sngat tepat digolongkan sebagai "wilayah" juang yang bisa melahirkan banyak pahlawan.Â
Masyarakat negeri ini yang seringkali dibuai dan sedang terbuai oleh janji-janji pemimpin (pemerintah), yang dikondisikan bisa jalani hidup di sebuah negeri dongeng.
Membayangkan potret negeri Pinokio, masih terperosok menghayalkan dan menikmatinya, tanpa ada hasrat besar untuk merubahnya, khususnya dari komunitas elitnya.Â
Akhirnya banyak elemen social yang tergiring sebatas jadi pemimpi, dan kurang ada semangat melakukan banyak perubahan baik yang bermanfaat untuk diri, keluarga, dan apalagi bangsanya.
Di wajah lain, kita dihadapkan realitas yang terkadang menyesakkan dada. Yakni tidak sedikit elite pemimpin negeri ini yang lebih pintar "mendongeng" pada masyarakat tentang arti kepahlawanan.
Makna pembelaan terhadap tanah air (menjadi nasionalis), dan pentingnya pengabdian dan keiikhlasan berkorban, tetapi mereka tidak cerdas dalam memberikan keteladanan jadi pemimpin dan penegak hukum bernafaskan keadilan dan kemanusiaan.
Mereka itu dominan lebih bisa membius dan membuai rakyat dengan kata-kata manis norma yuridis dan bukan pembumian perbuatan yang bercorak perubahan, pembaruan, dan pencerahan kehidupan rakyat yang sedang hidup dalam pekatnya penderitaan, atau "pekatnya" jagad peradilan.
Komunitas elite pemimpin suka sekali membikin rakyat menikmati kebingungan wacana, pertarungan di level pucuk kekuatan politik, atau dongeng dari kahyangan kaum borjuis yang bisa melancong dari nirwana ke nirwana dengan menggunakan uang negara sesuka hati, tanpa mempertimbangkan kondisi riil rakyat yang sedang dalam kondisi darurat kemiskinan atau ketidakberdayaannya.
Hasrat untuk berubah atau menggelar aksi-aksi pembaruan tampak temaram. Bagi elit politik, yang paling mengedepan barulah emosi dan egoisme kelompok.
Mereka, yang menuntut dimanjakan, diberi identitas, atau diperlakukan layaknya raja-raja kecil yang maniak kekuasaan dan menyalahgunakan amanat kerakyatan.Â
Sementara bagi masyarakat, sikap dan mental yang dipertahankan hanya pasrah menerima nasib sebagai takdir sejarah, yang patut diterima, layaknya sang Pinokio, yang merasa cukup dengan menerima atau mengenainya.
Mereka sebenarnya bisa menjadi pahlawan di bidangnya masing-masing, jika sikap, mental, dan aksi-aksi yang dilakukan benar-benar ditujukan demi kepentingan tanah air.
Suatu kepentingan yang berembrio dari realitas sejati problem ekonomi, politik, hukum, agama, pendidikan, dan lainnya yang sedang menghimpit dan "menjajah" masyarakat.
"Tujuan dari kehidupan pahlawan", kata Albert Schwelaar (2006) adalah untuk melayani dan menunjukkan belas kasihan, serta menghasilkan komitmen menolong orang lain.Â
Apa yang sedang diderita dan menjadi problem berat orang lain tidak dibiarkan menjadi penderitaan yang mengakut, berlapis, dan terus berlanjut, tetapi secepatnya dibaca secara cerdas sebagai segmentasi utama dari tanggungjawabnya
Pahlawan itu melayani dan bahkan harus memuaskan kepentingan masyarakat. Selagi di masyarakat masih bertebaran problem akut semisal penyakit sosial seperti kemiskinan, pengangguran, anak jalanan, putus sekolah, pelacuran, pengemisan, dan kekerasan atas nama penderitaan, serta booming bencana.
Maka ini jelas mengindikasikan kalau di masyarakat masih krisis kepahlawanan yang bermakna pengabdian, etos pelayanan publik yang adil dan memanusiakan.
Kita perlu berkaca pada pemenang Nobel Perdamaian Muhammad Yunus, yang berkat peran-perannya terhadap kepentingan makro masyarakat, khususnya keberhasilannya dalam mengurai problem ekonomi dan korupsi secara konkrit yang menghimpit masyarakat Banglades.
Ini tentu supaya apa yang sedang, telah, dan barangkali akan kita perbuat, benar-benar riil tertuju pada apresiasi, dan ekspektasi, dan advokasi kepentingan masyarakat.
Itu mengajarkan pada setiap orang, khususnya elitis untuk menjadi pahlawan, yang berani melawan berbagai bentuk onak dihadapannya demi kemerdekaan, kesucian kemandirian, kesejahteraan, dan keadaban hidup berbangsa.Â
Ada pengorbanan dan pengabdian sejati yang ditunjukkan, sehingga hasilnya benar-benar bisa dinikmati oleh masyarakat.
Rakyat sudah sering dan akrab menghadapi corak sepak terjang komunitas elite yang serba kamuflase, yang ke mana-mana gampang mengkampanyekan dan mempertontonkan kepedulian pada derita masyarakat.
Beramai-ramai mengunjungi dan "beraksi" di lokasi bencana alam dan komunitas kumuh atau zona-zona penderitaan sosial.
Akan tetapi, apa yang diperbuatnya ini sekedar memenuhi target momentum kepentingan politik instant dan pragmatisme kekuasaan, sehingga tidak layak disebut sebagai pahlawan sejati
Oleh: Abdul Wahid
Pengajar Universitas Islam Malang dan penulis bukuÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H