Oleh: Abdul Wahid
Pengajar FH dan Pascasarjana Univerasitas Islam Malang dan penulis sejumlah buku
Kalau saja setiap elemen bangsa yang berbeda keyakinan dan agama di negeri ini benar-benar menunjukkan sikap persaudaraan inklusif, yang saling terbuka dalam menghormati perbedaan, tentulah pola kekerasan yang mengorbankan nyawa orang atau pemeluk agama lain tidak perlu terjadi di tahun ini.Â
Kedamaian dalam perbedaan atau keragaman dalam konstruksi cinta damai bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dirasakan bersama di tahun ini, manakala setiap elemen masyarakat saling menyadari kalau sejatinya, mereka saling membutuhkan.
Ada suatu pesan moral dalam kitab klasik Durratun Nashihin yang ditujukan pada orang-orang yang sedang bertikai dan bermusuhan, "apakah kau telah berlaku baik pada mereka yang berlaku buruk padamu? apakah kau marah pada orang-orang yang menganiayamu? apakah kau ajak bicara orang-orang yang telah meninggalkanmu? apakah telah kau hubungi dan memulai silaturahim orang-orang yang telah memutuskan silaturahimnya padamu?
Pesan itu menjadi mutiara kritik terhadap bangunan persaudaraan kita, karena kita yang hidup di bumi pertiwi ini seperti sedang tak lagi menjadi saudara, hidup saling bersinggungan, berhadapan dan merasa tak berada dalam satu bangunan yang mengokohkan jiwa ke-Indonesiaan. Kita sedang gagal menikmati pelayaran sebuah "kapal besar" yang mengiklimkan sikap saling menyayangi, memberdayakan dan menjunjung tinggi kesetiakawanan sosial-politik.
Rasa cinta kita pada sesama sedang tak bersinar dan gagal menjadi matahari yang menabur cahaya bagi sesama di bumi. Etos persaudaraan kita sedang mencapai titik nadir, karena diantara kita lebih terbius memuja keserakahan, arogansi, kekejaman, kebiadaban atau sifat "kebinatangan". Kita lebih rentan tergiring menjadi sosok dan komunitas yang suka memproduksi "kedajjalan" daripada mendatangkan atmosfir kedamaian.
Darah masih saja rentan tumpah membasuh pertiwi ini gara-gara tangan-tangan kotor (the dirty hands) kita lakukan, kita produk, dan kita panglimakan di tengah masyarakat. Tangan-tangan kotor sudah demikian sering kita jadikan sebagai "opsi" untuk menghakimi atau bahkan "menjagal" hak-hak sesama. Hak hidup orang atau kelompok lain yang semestinya kita lindungi, justru kita rampas sendiri lewat sikap praduga bersalah yang berujung penghakiman secara radikalistik dan dehumanistik..
Kepentingan masyarakat sudah sering dikoyak oleh sikap arogansi merasa benar sendiri (truth claim) dari sekelompok orang, elemen negara atau sejumlah orang dibalik jubah kekuasaan yang menempatkan target eksklusifnya sebagai kepentingan istimewa dan absolut yang tidak bisa digeser oleh kepentingan makro masyarakat.
Pengoyakan seperti itu mencerminkan berjayanya tangan-tangan kotor, yang membuat peta kehidupan bermasyarakat dan bernegara sarat dengan gesekan dan atmosfir vis a vis yang bisa dengan mudah tergiring pada ranah radikalisme dan ekstrimisme
Kita yang berada di ranah piramida kekuasaan pun masih menjadi manusia-manusia yang gagal memimpin (mengendalikan), mendidik, dan mehumanisasikan diri, karena kita masih menjatuhkan opsi egoisme sektoral, kelompok, dan merasa paling bertuhan atau melegitaskan klaim "surgawi" tanpa memberi ruang bagi yang lain untuk berbeda dan berdemokrasi secara beradab.
Kita bahkan sering sekali mematikan atau menghilangkan apa yang disebut Anshari Thayib "paradigma kemanusiaan" (an-naz'ah al-insaniyah). Apa yang kita lakukan dari hari ke hari makin mengakibatkan tercerabutnya dan punahnya komitmen persaudaraan kemanusiaan. Kita terkadang masih gigih saling menabur brutal, jegal dan jagal.
Pencairan keadaan supaya menjadi progresip dan kondusif, serta humanistic harus dilakukan kita yang pernah menciptakan kondisi ketimpangan, chaos, ketidak-adilan, dan ketidak-adaban terhadap elemen masyarakat. Ketidakberdayaan masyarakat akibat ulah kita yang berlaku zalim secara structural,
Upaya itu akan merekonstruksi makna persaudaraan tidak hanya terbatas dalam ranah individual, tetapi juga ranah sosial, kultural, dan struktural. Berbagai dimensi ini bisa saja dimasuki oleh setiap elemen yang menjadi pelaku dalam konstruksi kehidupan bernegara dan bermasyarakat ini, manakala mereka memang mempunyai komitmen untuk mewujudkannya.
Di hadapan sahabat-sahabatnya, Nabi Muhammad SAW menceritakan peristiwa ganjil yang akan terjadi di akhirat kelak. Katanya, "ada serombongan orang yang pakaian dan wajahnya tampak bersinar dan bercahaya. Mereka ini mengundang rasa takjub para Nabi dan pejuang yang mati sahid".Â
"Siapakah mereka yang mendapat keistimewaan di hari Perhitungan itu?", tanya sahabat-sahabatnya. "Mereka merupakan kumpulan orang-orang yang semasa di dunia telah menjalin persaudaraan yang suci, tak dijangkiti sifat dengki, amarah, dendam, sakit hati, saling menyakiti dan menzalimi yang lain dengan tangannya".
Hikayat tersebut mengajarkan, agar sesama manusia tak menghalalkan sifat kedengkian, dendam, menganiaya dan apalagi menghabisi sesamanya. Sifat tak terpuji harus steril dari bangunan persaudaraanm, sedang sifat--sifat mulia harus selalu dimenangkan dan dikembangkan supaya antar sesama bisa saling menerima dengan kebeningan nurani.
Pesan kenabian itu mengajak masing-masing komponen bangsa untuk menempatkan sifat-sifat terpuji sebagai "pakaian" yang menjaga aurat diri, sesama dan bangsa. Sifat inilah yang akan mengantarkan dirinya sebagai pemenang sejati (muflihun) di hadapan Allah. Kemenangan sejati ditentukan oleh model pergaulan yang dikonstruksinya.
Itu artinya kebahagiaan atau "hari kemenangan" di akhirat nanti akan berhasil ditunainya bilamana manusia mampu membingkai persaudaraan kemanusiaannya dengan cinta. Cinta inilah yang dapat memediasi dan mengintegrasikan perbedaan etnis, ketaksepahaman visi dan disparitas kepentingan golongan. Dan kemenangan itu tentu saja menjadi bagian dari wujud bangunan persaudaraan manusia di dunia yang berhasil diimplementasikan, seperti di momentum lebaran yang juga kita golongkan sebagai "hari kemenangan".
"Tak disebut beriman diantara kalian, sehingga mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri", demikian penegasan Nabi Muhammad SAW yang mengajak manusia untuk selalu merajut dan membugarkan persaudaraan kemanusiaannya dengan cinta.
Hadis tersebut juga menggariskan, bahwa doktrin "cinta" yang diajarkan Nabi merupakan doktrin melintas batas sekat sosial, kultural, agama, individual, struktural, dan lain sebagainya, yang berporos pada kepentingan universal. Manusia yang terikat dalam doktrin ini dibebani kewajiban untuk mengembalikan (merehabilitasi) kondisi terburuk yang pernah diproduknya menjadi kondisi yang lebih baik, memanusiakan, dan memartabatkan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H