Kita bahkan sering sekali mematikan atau menghilangkan apa yang disebut Anshari Thayib "paradigma kemanusiaan" (an-naz'ah al-insaniyah). Apa yang kita lakukan dari hari ke hari makin mengakibatkan tercerabutnya dan punahnya komitmen persaudaraan kemanusiaan. Kita terkadang masih gigih saling menabur brutal, jegal dan jagal.
Pencairan keadaan supaya menjadi progresip dan kondusif, serta humanistic harus dilakukan kita yang pernah menciptakan kondisi ketimpangan, chaos, ketidak-adilan, dan ketidak-adaban terhadap elemen masyarakat. Ketidakberdayaan masyarakat akibat ulah kita yang berlaku zalim secara structural,
Upaya itu akan merekonstruksi makna persaudaraan tidak hanya terbatas dalam ranah individual, tetapi juga ranah sosial, kultural, dan struktural. Berbagai dimensi ini bisa saja dimasuki oleh setiap elemen yang menjadi pelaku dalam konstruksi kehidupan bernegara dan bermasyarakat ini, manakala mereka memang mempunyai komitmen untuk mewujudkannya.
Di hadapan sahabat-sahabatnya, Nabi Muhammad SAW menceritakan peristiwa ganjil yang akan terjadi di akhirat kelak. Katanya, "ada serombongan orang yang pakaian dan wajahnya tampak bersinar dan bercahaya. Mereka ini mengundang rasa takjub para Nabi dan pejuang yang mati sahid".Â
"Siapakah mereka yang mendapat keistimewaan di hari Perhitungan itu?", tanya sahabat-sahabatnya. "Mereka merupakan kumpulan orang-orang yang semasa di dunia telah menjalin persaudaraan yang suci, tak dijangkiti sifat dengki, amarah, dendam, sakit hati, saling menyakiti dan menzalimi yang lain dengan tangannya".
Hikayat tersebut mengajarkan, agar sesama manusia tak menghalalkan sifat kedengkian, dendam, menganiaya dan apalagi menghabisi sesamanya. Sifat tak terpuji harus steril dari bangunan persaudaraanm, sedang sifat--sifat mulia harus selalu dimenangkan dan dikembangkan supaya antar sesama bisa saling menerima dengan kebeningan nurani.
Pesan kenabian itu mengajak masing-masing komponen bangsa untuk menempatkan sifat-sifat terpuji sebagai "pakaian" yang menjaga aurat diri, sesama dan bangsa. Sifat inilah yang akan mengantarkan dirinya sebagai pemenang sejati (muflihun) di hadapan Allah. Kemenangan sejati ditentukan oleh model pergaulan yang dikonstruksinya.
Itu artinya kebahagiaan atau "hari kemenangan" di akhirat nanti akan berhasil ditunainya bilamana manusia mampu membingkai persaudaraan kemanusiaannya dengan cinta. Cinta inilah yang dapat memediasi dan mengintegrasikan perbedaan etnis, ketaksepahaman visi dan disparitas kepentingan golongan. Dan kemenangan itu tentu saja menjadi bagian dari wujud bangunan persaudaraan manusia di dunia yang berhasil diimplementasikan, seperti di momentum lebaran yang juga kita golongkan sebagai "hari kemenangan".
"Tak disebut beriman diantara kalian, sehingga mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri", demikian penegasan Nabi Muhammad SAW yang mengajak manusia untuk selalu merajut dan membugarkan persaudaraan kemanusiaannya dengan cinta.
Hadis tersebut juga menggariskan, bahwa doktrin "cinta" yang diajarkan Nabi merupakan doktrin melintas batas sekat sosial, kultural, agama, individual, struktural, dan lain sebagainya, yang berporos pada kepentingan universal. Manusia yang terikat dalam doktrin ini dibebani kewajiban untuk mengembalikan (merehabilitasi) kondisi terburuk yang pernah diproduknya menjadi kondisi yang lebih baik, memanusiakan, dan memartabatkan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H