Liu saat itu masih menjalani hukuman 11 tahun penjara atas tuduhan subversi terhadap kekuasaan negara. Hukuman itu diberikan setelah dia ikut menulis manifesto bernama Piagam 08 yang berisi desakan perubahan politik di Tiongkok.Â
Piagam 08 dideklarasikan Bulan Desember 2 tahun lalu. Dokumen itu disebut sebagai konstitusi baru di Tiongkok yang berisi pengadilan yang independen dan kebebasan berekspresi.Â
Para pendukung Piagam 08, yakni sekitar 300 orang terdiri dari akademisi, seniman, pengacara, dan aktivis menginginkan debat penuh tentang masa depan pembangunan politik Tiongkok.
Logis jika Liu mendapatkan penghargaan atas "pembangkangan" yang dilakukannya itu, pasalnya apa yang diperbuatnya merupakan wujud panggilan sakral dirinya sebagai warga negara, yang tidak menginginkan kalau negaranya tetap dalam hegemoni rezim otoritarian. Liu tidak ingin diri dan masyarakat Tiongkok terus menerus menjalani kehidupan tanpa kebebasan.
Dari Liu, terdapat pelajaran berharga, bahwa dalam suatu negara menjadi pembangkang memang bisa menjadi orang terbuang atau dimarjinalkan dari rezim, akan tetapi ketika pembangkangan ini dijadikan sebagai pilihan atas nama hak asasi manusia (HAM) atau hak kebebasan menyatakan pendapat, hak berbeda dalam memproduk ide atau mengekspresikan pikiran, maka seseorang ini akan mendapatkan pengakuan publik sebagai manusia yang bermakna, bukan sebagai pecundang.
Di negeri ini, berbagai gerakan yang bersifat pembangkangan sudah sering ditunjukkan oleh aktifis peduli atau pejuang hak asasi manusia, demokrasi, dan keadilan. Ada yang semula bersifat individual dan privasi seperti yang dilakukan Prita, namun lambat laun, muncul dukungan publik.Â
Dukungan ini dapat terbaca dalam kasus gerakan koin untuk Prita. Â Berkat perlawanan yang ditunjukkan Prita dan besarnya dukungan publik, akhirnya dirinya berhasil memenangkan kasus perdata yang digugatkan kepadanya, di samping kasus pidana yang sudah lama menjeratnya.
Dalam kasus tersebut, Prita dan "Prita-prita" lainnya di negeri ini, yang berani menyampaikan hak kebebasan berpendapat melalui tulisan (seperti membongkar anomali melalui email) atau menulis buku seperti Gurita Cikeas (Goerge Aditjondro), yang sebenarnya juga layak dikategorikan sebagai pembangkang atau pendobrak, yang tentu saja senyawa dengan yang dilakukan oleh Liu.
Apa yang dilakukan oleh Prita, George Aditjondro, Minah, dan komunitas seperjuangannya memang harus diikuti oleh generasi lainnya, seperti yang dilakukan oleh Liu. Tanpa ada dukungan dari generasi-generasi lainnya, rezim yang "tersesat" merasa benar sendiri (truth claim) tetap akan superior dan otoriter.
Seperti diingatkan oleh Em. Said Gunawan (2009), bahwa generasi pemberani harus lahir secara terus menerus guna mengisi kemungkinan lumpuhnya atau tidak cerdasnya para pendahulu yang sudah terjebak dalam romantisme politik, jabatan, dan kapitalisme.Â
Tanpa ada generasi militan yang lahir atau kekuatan pembedah kultur busuk yang mencengkeram negara, maka tidak perlu ada lagi mimpi terbentuknya negara yang kuat dengan parameter masyarakat sejahtera dan demokratis.