Beliau sangat apresiatif terhadap sosok pemimpin yang hidupnya dibuat sibuk "memproduksi" kebahagiaan untuk rakyatnya, dan bukan sosok pemimpin yang suka menyemaikan disharmonisasi dan ketidakaban pada rakyatnya. Dalam ranah inilah standar komptensinya dapat terbaca dengan mudah, bahwa kepemimpinannya akan bisa dinilai sukses atau tidak tergantung pada seberapa besar kebahagiaan yang dirasakan rakyat sebagai dampak kepemimpinanya.
Kepemimpinan yang berbasis ideologis itu merupakan tampilan riil kepemimpinan yang bersifat memberi yang terbaik untuk rakyat kecil bukan menuntut rakyat kecil supaya meleburkan dirinya dalam pengabdian totalnya kepada diri atau negara ini. Rakyat barangkali dalam beberapa sisi bisa saja mencuatkan opisisi atau reaksi marahnya pada pemimpin dan negara, akan tetapi ini bukan berarti rakyat tidak sebagai pengabdi ideologis. Rakyat yang seperti ini justru bermaksud menyadarkannya atau "mentaubatkan" kalau para pemimpin tidak boleh menempatkan doktrin ideologis sebagai obyek permainan (dagelan). Para pemimpin ini dimintanya konsisten di jalan lurus pengabdiannya untuk menjaga ideologi.
Rakyat pun tidak boleh kenal putus asa menjadi penjadi penjaga ideologi itu, pasalnya mestilah akan banyak dan ragam tantangan yang berelasi dengan pola kepemimpinan sang penguasa, yang boleh jadi diantaranya menolak menjadi penegak dan penguat di jalan lurus. Mereka mendapatkan banyak hak privilitas, sehingga memungkinkan memilih jalan sesat sangat terbuka.
Oleh; Abdul Wahid
Pengajar Ilmu Hukum dan Pascasarjana UniversitasIslam Malang dan penulis buku hukum dan agama
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H