Seseorang yang beragama, hidupnya tidak akan semata untuk mengabdi pada kepentingannya sendiri, melainkan juga untuk sesama manusia, bangsa, dan negaranya. Pihak lain yang berelasi dengan perannya akan ikut terpengaruh. Ketika misalnya dirinya tidak berusaha menunjukkan peran yang bertajukkan memberukan yang bermanfaat untuk sesama dan negaranya, berarti standar keberagamaannya menjadi  rendah.
Itu mengisyaratkan, bahwa wajah bangsa dan negara adalah cermin wajah masyarakat. Wajah ini merupakan imbas dari peran yang dimainkan setiap subyeknya. Semakin banyak peran positip yang dimainkan oleh elemen bangsa, maka akan semakin terjaga dan berkembang marwahnya sebagai  organisasi besar rakyat (negara).
"Islam yang tidak mampu memberikan solusi pada persoalan kemanusiaan tidak akan punya masa depan yang cerah", demikian pernyataan pemikir kenamaan Fazlur Rahman dalam Major Themes of the Qur'an (1980).
Pernyataan Rahman  itu  mengisaratkan bahwa etos kemusliman atau keberagamaan seseorang yang hidup di tengah masyarakat, apalagi sedang menyandang identitas sebagai penguasa itu ditentukan lewat "karya", prestasi dan praksis amaliah sosialnya yang bertujuan dan berorientasi pada pembaruan, pembugaran dan pencerahan harkat kemanusiaan. Sisi kemanusiaan inilah yang menjadi "kartu" fundamental yang menentukan kehidupan dan keberlanjutan negara.
Kelihatannya mudah karena dengan cukup menyebut kata "kemanusiaan" yang diulang-ulang, maka setiap orang, khususnya kalangan pejabat (pemimpin), yang dari awal sudah terlatih menghafal ideologi negara (Pancasila), mestilah sangat mahir menghafalnya. Namun saat hal ini dibawa ke ranah das sein belum tentu mudah.
Faktanya, belum tentu sejumlah orang penting (pemimpin) yang fasih mengucapkan kata "kemanusiaan" lantas fasih menunjukkannya dalam aksi (perbuatan). Realitas kontradiksi seringkali mencuat ke permukaan, ketika tuntutan pembumian kata "kemanusiaan" gencar dilakukan  oleh kalangan pejuang kebenaran, justru banyak  darinya yang belum mencintai dalam realitas.
Mestinya itu disadari, bahwa atmosfir pencerahan sosial hanya mungkin terlahir lewat sosok pemimpin atau manusia-manusia beragama yang jiwa humanistiknya "membara" dan selalu berupaya untuk melakukan reformasi dan transformasi nilai dalam diri dan kepemimpinannya. Mestinya dalam dirinya selalu berkobar, bahwa "hanya kamulah (Pancasila), yang kucintai dalam realitas berbangsa".
Tidak akan ada hasil yang menggembirakan (mencerahkan) yang bisa ditunai oleh seorang penguasa strategis, termasuk Presiden sekalipun tanpa didahului oleh kerja dan pengabdian maksimalnya kepada rakyat, khususnya masyarakat kecil. Mereka yang berjumlah jutaan inilah yang "sangat" membutuhkan kinerjanya yang mencermkinkan sebagai wujud doktrin ideologis kemanusiaan yang tidak  kenal titik nadir.
Masyarakat akar rumput akan tetap berbalut derita jika kepala negara tidak bersungguh-sungguh (mujahadah) dalam menyelami lautan penderitaannya. Surga sosial akan bisa terwujud dan menyejarah di tangan kepala negara yang mengerahkan kapabilitas dan akseptabilitasnya untuk mencegah terbentuknya neraka sosial yang menyengsarakan rakyat kecil.
Itu berarti, hidup seorang pemimpin di tengah komunitasnya atau siapapun yang mengemban amanat di level apapun di antara rakyatnya wajib bermakna, Â harus mengalir jernih dan mengairi rakyat dengan pengabdian paripurnanya. Gerakan kerja, kompetensi, tugas dan amal profetiknya harus mendulang dan memenangkan hak-hak suci publik atau rakyatnya dibandingkan hak-hak privasi, kerabat, dan kroni-kroninya. Kinerja seperti ini tidak mudah, pasalnya mesti ada saja "setan-setan" yang berusaha mempengaruhi supaya gagal menjadi pengabdi atau pembumi ideologis (Pancasila).
"Seutama-utamanya amal saleh, ialah memasukkan rasa bahagia di hati orang yang beriman, melepaskan rasa lapar, membebaskan kesulitan, atau membayarkan utang", demikian sabda Nabi Muhammad SAW, yang esensinya secara general mengajak manusia, istimewanya yang sedang pemimpin negara untuk berlomba dan bersaing dalam menabur amal kebajikan dan kebijakan yang berbasis kemanusiaan.
Beliau sangat apresiatif terhadap sosok pemimpin yang hidupnya dibuat sibuk "memproduksi" kebahagiaan untuk rakyatnya, dan bukan sosok pemimpin yang suka menyemaikan disharmonisasi dan ketidakaban pada rakyatnya. Dalam ranah inilah standar komptensinya dapat terbaca dengan mudah, bahwa kepemimpinannya akan bisa dinilai sukses atau tidak tergantung pada seberapa besar kebahagiaan yang dirasakan rakyat sebagai dampak kepemimpinanya.
Kepemimpinan yang berbasis ideologis itu merupakan tampilan riil kepemimpinan yang bersifat memberi yang terbaik untuk rakyat kecil bukan menuntut rakyat kecil supaya meleburkan dirinya dalam pengabdian totalnya kepada diri atau negara ini. Rakyat barangkali dalam beberapa sisi bisa saja mencuatkan opisisi atau reaksi marahnya pada pemimpin dan negara, akan tetapi ini bukan berarti rakyat tidak sebagai pengabdi ideologis. Rakyat yang seperti ini justru bermaksud menyadarkannya atau "mentaubatkan" kalau para pemimpin tidak boleh menempatkan doktrin ideologis sebagai obyek permainan (dagelan). Para pemimpin ini dimintanya konsisten di jalan lurus pengabdiannya untuk menjaga ideologi.
Rakyat pun tidak boleh kenal putus asa menjadi penjadi penjaga ideologi itu, pasalnya mestilah akan banyak dan ragam tantangan yang berelasi dengan pola kepemimpinan sang penguasa, yang boleh jadi diantaranya menolak menjadi penegak dan penguat di jalan lurus. Mereka mendapatkan banyak hak privilitas, sehingga memungkinkan memilih jalan sesat sangat terbuka.
Oleh; Abdul Wahid
Pengajar Ilmu Hukum dan Pascasarjana UniversitasIslam Malang dan penulis buku hukum dan agama
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H