Memang ibarat gambaran ganda yang selalu membentang di dunia seperti ada kanan dan kiri, ada benar dan salah, ada baik dan jahat, atau ada hitam dan putih, Â serta ada halal atau haram, yang masing-masing berusaha untuk saling mengalahkan dan mengeliminasi, Â sehingga meski mayoritas penduduk Indonesua ini mayoritas muslim, tetap saja banyak "pencari" kekuasaan yang berani menghitamkan doktrin keagamaannya (ketuhannya).
Jika masih seperti itu, realitas lain yang sangat tidak menyenangkan  diniscayakan menyertainya. Diversifikasi dan kompilasi keprihatinan seperti konflik dan kekacauan antar umat yang sedikit berbeda saja bisa gampang meledak dan bahkan tumbuh subur di tengah masyarakat. Dalam ranah ini atau kejujuran gampang dijadikan obyek rekayasa dan dagelan dibalik formalisasi agama demi menyudutkan ("membunuh") pesaingnya yang sedang menjadi calon pemimpin daerah.
Akhirnya kekacauan atau radikalisme sosial, politik, dan agama bisa gampang muncul dan meledak di tengah masyarakat yang mengidap virus "tanpa Tuhan" ini. Di tengah kondisi ini, kata Martin Luther "hanya kaum bajinganlah yang beruntung, karena kaum bajingan merupakan perekayasa atau penghancur yang licik, keji, dan mudah menyebarkan tipu muslihat". Keberuntungan kaum bajingan ini tidak bisa dihindari, pasalnya masyarakat berhasil dijebaknya memasuki ranah desakralisasi agama atau pengeliminasian doktrin ketuhananya.