Oleh: Abdul Wahid
Friedrich Nietzsche, sang filosof kenamaan ini pernah menyebut, bahwa Tuhan sedang mati (God is dead). Di mata filosof ini, bangunan masyarakat dan kenegaraan, serta peradaban dimana dirinya menjalani kehidupan, layak digolongkannya sebagai "masyarakat tanpa tuhan" atau masyarakat tak bernyawakan agama lagi, meski sebenarnya secara formal beragama. Filosof ini menjatuhkan vonis berkadar moral spiritualitas kalau masyarakat atau negaranya kehilangan konstruksi keadaban dan orientasi religiusitasnya.
Pernyataan Nietzsche yang tergolong radikal itu dapat ditafsirkan secara hermeneuitik, bahwa Nietzshe ini rupanya berhasil memotret sebagian dari potret bengkok kehidupan bermasyarakat dan bernegara, suatu realitas sosial-politik kenegaraan dan kemasyarakatan yang sedang bergerak menuju "pembasmian" atau penghilangan Tuhan dalam konstruksi kehidupannya.
 Nietzsche sebenarnya tidak menginginkan masyarakat dan negara dibangun tanpa kawalan moral dan agama, tapi akibat kondisi realitas sosial, ekonomi,  politik, dan lainnya sudah sarat dengan "pembangkangan", akhirnya diberikanlah stigma yang tepat yang bernama  ?masyarakat tanpa Tuhan" .
Di mata filosof itu, kerusakan di masyarakat yang sangat parah, mulai dari dunia pendidikan, budaya, politik, dan hukum misalnya, merupakan bagian dari jenis penyakit yang sejatinya menuntut semua elemen masyarakat, khususnya elite pemimpinnya untuk mengembalikan kedaulatan agama dalam kehidupannya atau menjadikan agama tetap sebagai kemudi superioritasnya.
 Itu menunjukkan, bahwa tidak mudah menciptakan tata dunia  atau konstruksi bernegara yang beradab dan bertuhan, pasalnya banyak elemen strategis yang menghalalkan segala macam cara (permisif) untuk memenuhi apa saja yang diinginkannya, termasuk dalam upaya merebut kekuasaan.
Salah satu cara yang ditunjukkan sebagian elemen elite itu adalah merebut kursi (kekuasaan) dalam penyelenggaraan pesta demokrasi  seperti Pilkada dengan berlomba melakukan cara-cara seperti saling memproduk dan menyebar ujaran kebencian, intimidasi,  dan "obral" politik uang, serta berbagai cara lain yang berlawanan dengan norma agama. Mereka mengolah kata, meramu perilaku atau kejadian yang seolah-olah sebagai "hal yang sebenarnya" untuk dijadikan instrumen menjelekkan dan menghabisi lawan politiknya.
Kita sudah demikian sering dihadapkan oleh praktik pembenaran praktik adigang-adigung seperti itu dalam pesta demokrasi. Meskipun dalam norma, kita sudah digariskan mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak sebagai rule of game dalam Pilkada, masih saja demikian sering kita saksikan kejadian atau tontonan pelanggaran norma yang mengerikan.
Dapat terbaca, terkadang ada ragam konspirasi jahat, kotor, keji, asal menghakimi, sarat praduga bersalah, ujaran kebencian, atau pembunuhan karakter yang bukan tidak mungkin dilakukan dan disebar oleh seseorang atau kelompok tertentu yang berambisi mewujudkan target khususnya.
Misalnya berbagai bentuk praduga buruk dipolitisasi dan dikomoditi untuk digunakan sebagai instumen berpolitik yang dimunculkan seolah sebagai "khutbah" di tengah masyarakat yang sudah sekian lama terseret dalam kerentanan pembenaran adagium "di dunia politik, apa saja halal", yang tentu sangat kuat mengesankan  sudah mengulturnya pola "menghilangkan" Tuhan dalam pesta demokrasi (Pilkada).
Itu juga terbaca saat agama atau ayat-ayat suci dijadikan sebagai komponennya, sehinga sangat terkesan kalau apa yang diungkapkan atau disebar kemana-mana melalui SMS, WA, Facebook, dan lainnya merupakan kebenaran "berliterasi Tuhan" yang memaksa publik untuk mempercayainya, padahal sebenarnya sarat mengandung unsur kepalsuan dan demagogistik (pembohongan dan pembodohan).