Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pesan Neisbith Melawan Korupsi

12 Agustus 2020   18:55 Diperbarui: 12 Agustus 2020   19:13 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis buku yang beberapa kali meramal soal masa depan (futurology) bernama John Neisbith pernah mengingatkan, bahwa di era serba paradok, manusia memuja gaya bergaul, gaya bercinta, gaya berpolitik (gaya membangun pemerintahan), gaya berbudaya, dan berbagai perubahan lainnya yang bersifat mencengangkan, yang berbeda jauh dengan masyarakat sebelumnya. Mereka memang menjadi obyek perubahan besar-besaran akibat desa dunia yang mempengaruhinya, namun mereka adalah subyek atas perubahan dirinya sendiri.

Apa yang disampaikan Neisbith itu sebagai isyarat, bahwa gaya berpolitik atau membangun rezim tidaklah gampang, pasalnya mesti akan banyak ynag menginginkan (mengidealisasikan) terjadinya perubahan, sementara tidak sedikit pula yang menginginkan bertahan atau dalam stagnasi kultural dan structural yang kalau perlu lebih deviatif.

Ada banyak pula yang menginginkan terjadinya perubahan, namun perubahan yang dikehendakinya bukanlah perubahan yang positip, melainkan perubahan yang bercorak pelanggaran terhadap norma-norma. Kondisi demikian ini diniscayakan akan selalu terjadi atau ada dalam lingkaran pergantian atau perubahan kekuasaan apapun di negara manapun, termasuk di Indonesia.

Meski sekarang ini misalnya presiden Joko Widodo juga mengajak setiap unitnya untuk melakukan penghematan atau menggalang gerakan anti pemborosan, namun gerakan ini bisa gagal di ranah empirik, ketika para punggawanya lebih bersyahwat menjatuhkan opsi sebaliknya.

Kalau seperti itu, akhirnya bukanlah rezim (kekuasaan) untuk rakyat (power for people) yang terwujud, melainkan kekuasaan untuk diri, keluarga, golongan, dan pihak-pihak lain yang terbilang "koncoisme eksklusif".  Kondisi seperti ini merupkan ujian setiap pengemban atau pengelola resim apapun, yakni kondisi dimana selalu muncul pihak-pihak yang bermaksud bisa memanfaatkan posisi atau jabatan yang didudukinya untuk "merangkul" siapa saja yang bisa diseret dalam ranah sindikasi kekuasaan yang menguntungkan secara instan dan permisif.

Dalam ranah pembelotan amanat itu, seseorang atau sekumpulan orang yang mengisi gugus kekuasaan bukanlah sebagai penjaga moral yang baik atau pengemban amanat yang teguh, melainkan sebagai "sekumpulan para tukang" yang diantaranya menjadi tukang menghabiskan, mengeroposi, atau memboroskan anggaran.

Mereka itu hadir bukan sebagai "sang pengabdi", melainkan sebagai "pemburu" yang dimanapun berusaha menciptakan lubang-lubang yang dinilainya mampu mendatangkan keuntungan. Namanya juga "pemburu", mereka terus bisa memperluas jaringannya dengan melibatkan siapapun yang bisa dipandang mampu memberikan jalan mulus untuk mewujudkan kepentingannya.

Idealitasnya, gerakan moral dan structural dalam bentuk penghematan harus dilakukan oleh pilar-pilar pemerintahan daerah seperti eksekutif dan legislatif dengan menunjukkan keteladanan konkrit. Mesin-mesin kekuasaan ini menggunakan nalar cerdas dan etos kerja serta etik jabatannya untuk mengelola anggaran dengan benar, tepat sasaran, dan benar-benar mempertimbangkan  kepatutan, rasionalitas, dan bobot kegiatan dengan kadar pembiayaannya.

Kegiatan yang berdalih pembangunan, pengembangan, pengentasan kemiskinan, pemberdayaan, perlindungan hak kesehatan masyarakat kecil, pelatihan ketrampilan, dan lain sebagainya, memang bisa menjadi kegiatan yang terlaksana dan dalam pelaporannya  menunjukkan kesuksesan, namun kegiatan ini dilaksanakan dengan pembiayaan yang sangat besar, disobyektifitas, tidak rasional, dan mengandung banyak cacat moral dalam realisasinya, sehingga jelas-jelas berkadar korupsi kulturalistik dan sistematis.

Angka-angka tidak rasional dan disobyektifitas sengaja dimasukkan dalam komposisi pembelanjaan anggaran konsumeristik supaya setiap mesin struktural  eksekutif maupun legislatif bisa mendapatkan keuntungan besar. Kegiatan yang semestinya sangat efektif dilaksanakan satu hari, tetap saja dilaksanakan tiga hari misalnya demi mendapatkan dan menimbun pundi-pundi keuntungan.

Kegagalan rezim di negeri ini dalam program "mengencangkan ikat pinggang", yang kegagalannya ini dibuktikan dengan maraknya korupsi atau berbagai jenis penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), tidak lepas dari pengaruh ketiadaan atau "miskinnya" atau krisisnya keteladanan dalam pembumian gerakan penghematan, sehingga untuk menanggulangi keniscayaan meledakknya bibit-biibit korupsi, pucuk pimpinan pemerintahan lokal wajib menunjukkan gerakan riilnya dalam mensalehkan dan mensahihkan antara kegiatan pembangunan di semua lini dengan ketersediaan dananya.

Kondisi seperti itu menuntut setiap subyek pemangku kekuasaan yang menggunakan pos anggaran negara untuk membangun dan mewujudkan (membumikan) Gerakan efisiensi empiric, bukan slogan-slogan yang berisi kampaanye murahan. Sudah saatnya mereka menunjukkan aksi briliannya untuk memberikan yang terbaik  pada rakyat negeri ini. Mereka yang tidak berani melakukan demikian, lebih baik sejak dini mundur dengan santun dan mengakui ketidakmampuan dalam mengelola kekuasaan yang benar.

Oleh Abdul Wahid

Pengajar Fak. Hukum Universitas Islam Malang

dan Penulis buku Hukum dan Agama

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun