Oleh: Â abdul Wahid
Hingga sekarang, kasus "kriminalitas" di ranah akademik atau dunia Pendidikan tinggi masih sering terjadi, yakni mulai dari pemalsuan, plagiasi, hingga "produksi" karta ilmiah untuk orang lain.
Jika mau dicari akar masalah dari kasus "jasa" pembuatan skripsi, tesis dan bahkan disertasi, maka kita perlu melacak pada adagium yang berbunyi "evil causis-evil vallacy", artinya, sesuatu yang buruk terjadi itu disebabkan oleh hal-hal buruk pula. Â Begitupun jasa pembuatan skripsi dan tesis, adalah tidak lepas dari faktor buruk atau serba anomali yang melatar-belakanginya.
Seperti kata kriminolog kenamaan Edwin Sutherland, bahwa suatu kejahatan itu lahir bukan disebabkan oleh faktor hereditas, bukan bawaan sejak lahir, atau bukan akibat keturunan, tetapi lewat proses pembelajaran. Kejahatan terlahir karena kepandaian pelakunya yang bisa membaca dan menciptakan peluang strategis. Dan peluang ini dapat terwujud ketika unsur pendukungnya menyadari bahwa dirinya membutuhkan kejahatan sebagai cara untuk menyelesaikan problem yang sedang dihadapinya.
Pikiran kriminolog itu berlaku dimana saja, termasuk di lingkungan masyarakat ilmiah dan beragama. Artinya di komunitas ini, kerawanan kriminalitas bisa terjadi dan laten ketika segmen kriminalitas saling berkolaborasi untuk mewujudkanya. Perwujudan kriminalitas ini terjadi akibat atmosfir buruk yang memaksa dan menguntungkannya untuk berbuat kriminalistik.
Mengingat skripsi dan tesis atau lainnya merupakan bagian istimewa dari program jagad kampus yang dibebankan pada mahasiswa jelang lulus atau hendak menuntaskan studinya, maka penyakit bernama dagang penulisan dan penyusunan skripsi dan tesis dapat dilacak dari kondisi ini.
Dalam penyusunan skripsi maupun tesis dan disertasi, mahasiswa akan menghadapi prosedur atau mekanisme mulai dari mengajukan judul, pembimbingan, seminar, hingga ujian dan proses lainnya. Beberapa tahapan ini tergolong krusial, sehingga setiap mahasiswa ditantang tenaga, pikiran, dan biaya ekstra  besar untuk menuntaskannya.
Dimulai dari pengajuan judul saja, secara umum mahasiswa sudah dihadapkan dengan kesulitan secara birokratis untuk mengikuti materi atau permasalahan seperti yang diregulasikan sekretaris jurusan dan ketua jurusan/ketua program, dan bukan materi yang sesuai dengan kemampuannya. Pejabat kampus ini seringkali atau gampang menvonis kalau judul yang diajukan oleh mahasiswa sudah pernah dibahas dan tidak menarik, tanpa mempertanyakan atau mengajak dialog mengenai esensi dan filosofi permasalahan yang diajukan.
Proses tersebut jelas terbilang monologis, pasalnya mahasiswa yang sebenarnya paling paham dengan masalah yang hendak dijadikan skripsi dan tesis atau karya lainnya, akhirnya terbelit kesulitan untuk mencari judul atau permasalahan lain.
Dalam posisi sebagai obyek yang dikebiri atau direpresi hak ekspresinya sejak dini ini, akhirnya mahasiswa menyerah pada judul atau permasalahan yang "dipaketkan" oleh sekretaris atau ketua jurusan/ketua program. Dengan judul atau masalah yang sebenarnya tidak dipahami dan dikuasainya ini, berbagai kemungkinan buruk dapat terjadi, diantaranya skripsi dan tesis lambat diselesaikan, atau dicari jalan lain yang bersifat pragmatis: menukangkan atau menyuruh pihak lain untuk menyelesaikannya.
Tahap awal itu dilanjutkan pula dalam proses pembimbingan skripsi dan tesis yang serta disertasi polanya tidak jauh berbeda dengan proses awal pengajuan judul atau permasalahan. Dalam tahap pembimbingan ini, posisi dosen pembimbing terkadang bukannya menciptakan atmosfir edukatif nan demokratis, tetapi justru memperlakukan mahasiswa bimbingannya sebagai obyek, yang tidak punya hak untuk benar, menulis berbeda, atau membahasakan dengan obyektif sesuai dengan pikiran-pikiran cerdasnya.
Ketika mahasiswa berada dalam posisi sulit tersebut, bukan tidak mungkin ia harus menyerah ke tangan pebisnis skripsi dan tesis. Pola bimbingan yang tidak memberikan pencerahan dan ber-atmosfir kondusif dalam menkonstruksi demokratisasi, menjadi biang keladi yang membuat mahasiswa semakin menyerah kalah untuk dikuasai oleh jaringan pebisnis penulisan skripsi dan tesis, karena dari pola pembimbingan demikian.
Mahasiswa semestinya masih bisa mencoba dan mencoba (bereksperimen) mengurai masalah atau judul yang tidak disukai yang "dipaketkan", Â atau "diarahkan " oleh sekretaris jurusan atau ketua jurusan/ketua program, akan tetapi karena kondisi yang diciptakan oleh sang dosen pembimbing bercorak represip pula, akhirnya mahasiswa menjatuhkan opsi berkolaborasi dengan pebisbinis skripsi dan tesis.
Kondisi buruk, tidak kondusif, tidak demokratis, monologis, dan bergaya represif yang mengitari proses pengajuan dan pembimbingan sudah selayaknya dibongkar atua didekonstruksi. Kondisi buruk ini hanya akan semakin membuka kran lahirnya dan maraknya bandit-bandit intelektual di lingkungan perguruan tinggi, jika tidak didekonstruksi dan digantikan oleh atmosfir akademik yang bercorak  dialogis dan menghidupkan iklim pengayaan, penalaran, dan pencerahan pikir mahasiswa. Iklim pencerahan harus terus menerus dihadirkan sebagai bagian dari politik stimulasi edukasi yang mencerdaskan.
Penciptaan kondisi yang kondusif merupakan salah satu "kekuatan tandingan" yang bisa diharapkan menghambat, meminimalisir, dan bahkan mematikan gerak setiap pebisnis skripsi dan tesis. Pebisnis ini tidak akan gentayangan atau menciptakan area bisnis di kampus yang kondisi akademiknya memberikan ruang akselerasi ijtihad  bagi mahasiswa yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H