Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kenisbian Keadilan di Republik Pinokio

5 Agustus 2020   07:38 Diperbarui: 6 Agustus 2020   08:52 1128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : abstract.desktopnexus.com

Masih adakah keadilan untuk ibu di republik ini?

Tampaknya republik ini layak disebut negeri berbalut kisah pinokio, pasalnya ibu sebagai makhluk yang disayang, dihormati, dimanusiakan, atau diperlakukan dengan adil, lebih sering hanya ada dalam drama atau dongeng menarik, sementara dalam realitas, terjadi penisbian keadilan yang mengerikan.

Ketika ibu kehilangan penyangga dari unsur keluarga (domestik) dan negara (publik), maka keberadaannya di dua dunia (publik-privat) sama-sama dihempas derita dan lara yang mengenaskannya. 

Ketika seorang ibu ditinggal  mati oleh suami dalam keadaan miskin (tidak ada warisan harta), sementara sehari-sehari ibu ini harus menghidupi anak-anaknya, di masyarakat kita sulit menemukan ada unsur keluarganya yang mau "berkompetisi" untuk memperlakukannya dengan adil, berkeadaban, atau bermartabat. Mereka berlomba untuk menghindari, memarjinalkan, dan membencinya (karena tidak meninggalkan harta waris).

Misalnya ada istilah yang popular mengisi bursa prostitusi yang berelasi dengan ketertindasan ibu yang dikenal dengan nama "barter atau jual keperawanan".

Seseorang ibu dan kelompok pebisnis esek-esek yang tergabung dalam sindikat perburuan anak bangsa (perempuan) yang masih perawan bergerilya mencari ke kampung-kampung, makelar-makelar, dan keluarga-keluarga yang sedang dirajam kesulitan ekonomi. Mereka menawarkan harga tinggi sejalan dengan permintaan pasar seksual yang membutuhkannya.

Sebagai sampel kasus, pernah terjadi di Lampung misalnya, seperti liputan sebuah media elektronik, bahwa ada 10 keluarga petani yang menjual keperawanan anak gadisnya guna menyabung hidup sehari-hari.

Di Boyolali Jawa Tengah juga terungkap adanya sindikat penjualan gadis di bawah umur.

Ironisnya lagi, gadis-dagis kecil ini dijual dengan harga di kisaran Rp. 450.000 ke lokalisasi di daerah Sunter.

Penampungan ini mempunyai jaringan dengan germo-germo di daerah Jakarta dan sekitarnya.

Laporan penelitian Kuntjoro (1989) juga menunjukkan dunia gelapnya anak-anak hawa ini, karena di salah satu daerah di Jawa Barat ternyata berhasil diungkap sebagai daerah perdagangan seks anak-anak di bawah umur. Daerah ini dikenal sebagai "pensuplai keperawanan".

Dalam buku yang ditulis oleh Yayasan Kakak berjudul "Anak-anak yang dilacurkan, Masa Depan yang Tercampakkan", pernah dideskripsikan tentang kasus perdagangan keperawanan anak yang berangkat dari kondisi kemiskinan masyarakat.

Krisis ekonomi telah menjadi salah satu pemicu terjadinya eksploitasi komersial terhadap anak-anak di bawah umur. Anak-anak di bawah umur ini menjadi obyek keserakahan pelaku pasar seks komersial.

Kasus-kasus bisnis keperawanan itu menunjukkan bahwa faktor kemiskinan atau kesulitan ekonomi ibu dan penisbian keadilan kepada ibu ternyata menjadi faktor kriminogen istimewa yang memunculkan dan tetap menguatkan motivasinya. 

Perempuan-perempuan di bawah umur ini menjadi obyek subordinasi yang kejam atau dehumanistik, serta sulit untuk dicegah dari jebakan memasuki "wilayah abu-abu", karena kita (keluarga, masyarakat, dan negara), termasuk aktor yang terlibat dalam sindikasinya.

Oleh sosiolog kenamaan Mansour Faqih (2002), bisnis keperawanan termasuk kejahatan yang serius. Selain menghina martabat kemanusiaan, fakta tentang anak-anak yang dilacurkan merupakan bentuk kejahatan kemanusiaan.

Kejahatan ini dilakukan secara sistemik dan kolektif, melibatkan keluarga, negara, dan seluruh masyarakat. Kita semua secara sistemik dan structural terlibat dalam kejahatan ini karena membiarkannya tetap berlangsung.

Bisnis anak di bawah umur tidak sebatas memenuhi birahi biologis, tetapi juga memenuhi syahwat kapitalisme yang sedang menggelora dan menggedor syaraf-syaraf sekelompok manusia yang sedang terbuai oleh kerakusan. 

Ada transaksi, negoisiasi, pasar terbuka, jaringan kelas atas, permainan seks yang mengikuti aroma perubahan kultur, dan ada kepentingan kaum pemodal, serta budaya patriakhi yang menentukannya aturan mainya.

Memang seperti kata Sosiolog itu, pelacuran terhadap anak-anak perempuan di bawah umur merupakan kejahatan kemanusiaan.

Tetapi, mereka yang terlibat langsung maupun tidak sebagai pebisnis layak disebut sebagai  "penjagal" hak asasi manusia atau perusak masa depan anak-anak, yang akar problematikanya tidak berdiri sendiri. 

Ada akar ketidak-adilan yang menyelubungi dunia kegelapan ini, yakni penisbian kepada peran publik ibu dan penisbian egalitarianisme dalam konstruksi keluarga.

Negara dan masyarakat yang menhambat, menyulitkan, atau menisbikan peran produktif ibu di sektor publik justru akan semakin memperburuk citra umum perempuan dan masyarakat Indonesia, karena ketika sektor ini tidak digarap atau di-kemudikan oleh ibu, maka posisi ibu sama artinya dengan diletakkan dalam kerawanan kriminogen. 

Kerterjerumusan ibu-ibu miskin dalam wilayah "abu-abu" lebih disebabkan oleh penisbian keadilan yang ditahbiskan oleh dominasi patriakhi dan rendahnya kultur disnormatifitas keagamaan.

Oleh karena itu, jika kita satu kata kata dalam menyikapi ibu (perempuan) yang bersosok, meminjam kata pujangga Ahmad Syauqy Beq "arsitek berkeringat harum", maka tema perjuangan kita wajib diarahkan untuk melawan revolusi budaya, struktur kehiduppan bermasyarakat, dan ketidakadilan negara yang memperlakukan ibu sebagai obyek yang ditumbalkan.

Wilayah gelap yang telah menjerumuskan dan mengorbankan anak-anak bangsa (anak-anak di bawah umur) itu wajib dijadikan sebagai modal istimewa dan fundamental untuk melicinkan jalan atau membebaskan ibu dari ketertindasan sistem yang memberlakukannya tidak adil.. 

Ibu memang bisa menciptakan dan menyemarakkan aroma keharuman bagi reformasi negeri ini, pasalnya seperti sabda Nabi Muhammad SAW "perempuan itu penyangga negara", namun perempuan akan gagal menjadi penyangga keagungan jika kehadirannya di sektor publik maupun domestik hanya ditempatkan sebagai pelipur lara, pemuas libido seksual, dan penjaja dari sistem kapitalisme yang mengeksploitasinya.

Oleh: Abdul Wahid

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun