Masih adakah keadilan untuk ibu di republik ini?
Tampaknya republik ini layak disebut negeri berbalut kisah pinokio, pasalnya ibu sebagai makhluk yang disayang, dihormati, dimanusiakan, atau diperlakukan dengan adil, lebih sering hanya ada dalam drama atau dongeng menarik, sementara dalam realitas, terjadi penisbian keadilan yang mengerikan.
Ketika ibu kehilangan penyangga dari unsur keluarga (domestik) dan negara (publik), maka keberadaannya di dua dunia (publik-privat) sama-sama dihempas derita dan lara yang mengenaskannya.Â
Ketika seorang ibu ditinggal  mati oleh suami dalam keadaan miskin (tidak ada warisan harta), sementara sehari-sehari ibu ini harus menghidupi anak-anaknya, di masyarakat kita sulit menemukan ada unsur keluarganya yang mau "berkompetisi" untuk memperlakukannya dengan adil, berkeadaban, atau bermartabat. Mereka berlomba untuk menghindari, memarjinalkan, dan membencinya (karena tidak meninggalkan harta waris).
Misalnya ada istilah yang popular mengisi bursa prostitusi yang berelasi dengan ketertindasan ibu yang dikenal dengan nama "barter atau jual keperawanan".
Seseorang ibu dan kelompok pebisnis esek-esek yang tergabung dalam sindikat perburuan anak bangsa (perempuan) yang masih perawan bergerilya mencari ke kampung-kampung, makelar-makelar, dan keluarga-keluarga yang sedang dirajam kesulitan ekonomi. Mereka menawarkan harga tinggi sejalan dengan permintaan pasar seksual yang membutuhkannya.
Sebagai sampel kasus, pernah terjadi di Lampung misalnya, seperti liputan sebuah media elektronik, bahwa ada 10 keluarga petani yang menjual keperawanan anak gadisnya guna menyabung hidup sehari-hari.
Di Boyolali Jawa Tengah juga terungkap adanya sindikat penjualan gadis di bawah umur.
Ironisnya lagi, gadis-dagis kecil ini dijual dengan harga di kisaran Rp. 450.000 ke lokalisasi di daerah Sunter.
Penampungan ini mempunyai jaringan dengan germo-germo di daerah Jakarta dan sekitarnya.
Laporan penelitian Kuntjoro (1989) juga menunjukkan dunia gelapnya anak-anak hawa ini, karena di salah satu daerah di Jawa Barat ternyata berhasil diungkap sebagai daerah perdagangan seks anak-anak di bawah umur. Daerah ini dikenal sebagai "pensuplai keperawanan".