Negara dan masyarakat yang menhambat, menyulitkan, atau menisbikan peran produktif ibu di sektor publik justru akan semakin memperburuk citra umum perempuan dan masyarakat Indonesia, karena ketika sektor ini tidak digarap atau di-kemudikan oleh ibu, maka posisi ibu sama artinya dengan diletakkan dalam kerawanan kriminogen.Â
Kerterjerumusan ibu-ibu miskin dalam wilayah "abu-abu" lebih disebabkan oleh penisbian keadilan yang ditahbiskan oleh dominasi patriakhi dan rendahnya kultur disnormatifitas keagamaan.
Oleh karena itu, jika kita satu kata kata dalam menyikapi ibu (perempuan) yang bersosok, meminjam kata pujangga Ahmad Syauqy Beq "arsitek berkeringat harum", maka tema perjuangan kita wajib diarahkan untuk melawan revolusi budaya, struktur kehiduppan bermasyarakat, dan ketidakadilan negara yang memperlakukan ibu sebagai obyek yang ditumbalkan.
Wilayah gelap yang telah menjerumuskan dan mengorbankan anak-anak bangsa (anak-anak di bawah umur) itu wajib dijadikan sebagai modal istimewa dan fundamental untuk melicinkan jalan atau membebaskan ibu dari ketertindasan sistem yang memberlakukannya tidak adil..Â
Ibu memang bisa menciptakan dan menyemarakkan aroma keharuman bagi reformasi negeri ini, pasalnya seperti sabda Nabi Muhammad SAW "perempuan itu penyangga negara", namun perempuan akan gagal menjadi penyangga keagungan jika kehadirannya di sektor publik maupun domestik hanya ditempatkan sebagai pelipur lara, pemuas libido seksual, dan penjaja dari sistem kapitalisme yang mengeksploitasinya.
Oleh: Abdul Wahid
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H