Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menjaga ataukah "Menjagal" Ideologi?

2 Agustus 2020   19:06 Diperbarui: 2 Agustus 2020   19:23 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Abdul Wahid

"Ada dua jenis manusia: satu yang mengukir sejarah dan satu lagi yang memikul beban akibatnya," demikian Camilo Jose Cela (1916--2002), penulis asal Spanyol yang juga peraih Nobel Sastra 1989 ini mengingatkan, bahwa setiap manusia dalam hidupnya haruslah memahami dua aspek penting atas peran yang dilakukannya.

Dalam pandangan peraih Nobel itu, bahwa dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara ini, ada dua hal penting yang selalu mengikuti peran atau aktivitas yang dilakukan manusia. Semakin strategis atau fundamental peran yang ditunjukkannya, maka semakin besar pula pengaruhnya dalam ranah di mana dirinya berperan.

Ketika perannya berada dalam ranah elitisme pemimpin bangsa, maka mestilah berelasi dengan kepentingan asasi bangsa dan negara, baik sekarang maupun masa mendatang. Kalau mereka dapat amanat membuat atau memperbarui peraturan perundang-undangan, maka mestilah yang dilakukannya ini bisa berdampak serius terhadap rakyat.

"Kasus" penyusunan Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang mulai "disenyapkan" publik merupakan bukti, bahwa peran asasi elitis legislatif bisa berpengaruh besar terhadap rakyat dan masa depan negeri ini, sehingga mendapatkan reaksi serius dari berbagai kalangan.

Penolakan banyak pihak terhadap RUU HIP itu juga suatu keharusan yang layak direfleksi, pasalnya setelah dibaca dalam sejumlah Pasal atau norma yang terumus, RUU HIP ini rentan potensial bukan menjaga Pancasila, melainkan "menganibalisasikan" atau "menjagalnya", yang di antaranya dengan membuka ruang kemungkinan "matinya" prinsip kebertuhanan dan "hidupnya" komunisme di negeri ini.

Kita mestilah berpikir normal saja, bahwa ideologi yang sudah final dan sudah sangat jelas manfaatnya bagi bangsa ini, tidak perlu mencari dalil apapun untuk dijadikan landasan berpikir mengubahnya. Bangsa ini masih mempunyai banyak pekerjaan besar dan "istimewa" yang harus ditangani bersama, sehingga tidak perlu harus mencari "pekerjaan tambahan" yang tidak berkualitas seperti mengajukan RUU HIP.

Para pembelajar tentulah lebih paham, bahwa para pendiri republik ini telah menyepakati atau bahkan "mengiblati" kalau Pancasila merupakan ideologi kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus diamalkan dan diproteksi dengan pertaruhan nyawa sekalipun. 

Atas dasar itu, sebagai ideologi, tentunya, setiap elemen bangsa berkewajiban bukan hanya melindungi Pancasila dari perilaku manusia-manusia yang bermaksud mengaburkan dan "menguburkan"-nya baik dengan mengganti, mengubah atau "menjagal" ideologi, tetapi juga berkewajiban mengaplikasikannya secara totalitas dan progresifitas.

Itu mengandung makna, mengamalkan Pancasila berarti menerapkan dan menegakkan norma-norma yang terkandung dalam setiap sila dalam Pancasila. Dalam setiap sila dalam Pancasila, terdapat doktrin sakral atau suci, yang mewajibkan setiap anggota masyarakat dan elemen bangsa ini untuk mengamalkannya.  

Para penyusun atau pendukung RUU HIP mestinya sangat paham, bahwa dalam realitas sejarah telah menunjunjukkan (mengajarkan), bahwa eksaminasi ideologi Pancasila tidaklah ringan, karena ada saja pihak-pihak yang berkeinginan "menjagal" di antaranya dengan menggantikannya dengan ideologi lain, atau mengujinya dengan cara tidak mengamalkan doktrin ideolgis dalam kehidupannya.

Terbukti tidak sedikit model perilaku manusia Indonesia, baik secara individual maupun kolektif, yang menunjukkan pola berpikir, bersikap, dan berperilaku yang bermodus meninggalkan atau "menjagal" doktrin Pancasila, di antaranya berpola sepak terjang atau aktivitas terbuka dan tersembunyi yang membahayakan negara kesatuan republik Indonesia (NKRI).

Akibatnya, ideologi Pancasila seperti menjadi sebuah ideologi yang gagal melaksanakan tugasnya guna membangun dan merajut setiap elemen bangsa, padahal ini bukan ideologinya yang gagal, melainkan manusia-manusiannya yang memilih jalan hidup sesat (secara ideologis, agama, dan hukum negara).

Pancasila dalam perjalanan sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia telah mengalami reduksi kebermakaan sakralitasnya akibat "diadaptasi" atau "diinterpretasi" ("dikanibalisasi") secara sekuleristik sesuai dengan kepentingan eksklusif pihak-pihak tertentu, terutama kelompok yang menahbiskan klaim kebenaran.

Bukti kesalahan manusia terhadap Pancasila sudah banyak di antaranya ketika Pancasila digunakan sebagai alat untuk memaksa rakyat setia kepada pemerintah yang berkuasa saat rezim Orba dengan menempatkan Pancasila sebagai satu-satunya asas dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat tidak diperbolehkan menggunakan asas lain sekalipun tidak bertentangan dengan Pancasila.

Kita belum lupa saat pemerintah Orba berupaya menyeragamkan paham dan ideologi bermasyarakat dan bernegara dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang bersifat pluralistik. 

Oleh sebab itu, MPR melalui Sidang Istimewa tahun 1998 dengan Tap. No. XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) dan menetapkan Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara dari negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara (Satriya, 2007).

Di satu sisi, saat era reformasi, Pancasila kembali digunakan sebagai "generator" kalangan reformis untuk melawan, menghentikan, atau menyembuhkan berbagai bentuk penyakit bangsa, khususnya warisan penyakit Orde Baru. 

Di sisi lain, dalam perjalanan era reformasi ini, pelukaan atau "kanibalisai" terhadap era reformasi terjadi dimana-mana, khususnya dari sekumpulan individu atau komunitas tertentu, yang sikap dan sepak terjangnya tidak berbeda dan bahkan lebih parah dibandingkan Orba.

Dalam ranah itu, Pancasila bukannya dijadikan ideologi gerakan reformasi, tetapi sebatas aksesoris pembenaran ambisi dan pergulatan kepentingan politik dan keserakahan kelompok tertentu. Menjamurnya berbagai model korupsi jamaah saat awal-awal reformasi merupakan salah satu bukti kemenangan para kleptokrat jabatan dalam mereduksi dan menggilas nilai-nilai Pancasila. 

Guruh Sukarno Putra pernah mengkritik keras dalam tulisannya "Sekali Pancasila, Tetap Pancasila", bahwa hingga kini, kita masih diliputi keprihatinan karena hampir seluruh sila Pancasila belum terwujud. Lihat saja, banyak warga mengalami kesulitan menjalankan ibadah menurut keyakinannya. Sila Kerakyatan atau demokrasi belum dihayati, terbukti banyak kekerasan dan kerusuhan. 

Dampak belum dihayatinya Pancasila, yaitu kebobrokan moral, berdampak pada manusia, alam, dan lingkungan. Alam murka akibat perilaku manusia tidak ramah lingkungan. Bencana alam kecil sampai besar terus terjadi. Sebagian orang religius menganggap ini adalah pertanda azab. Orang spiritual menyebut ini karma karena ada sebab-akibat, sedangkan orang yang berpancasila akan menilai, hal ini sebagai pertanda ketidak-adaban manusia yang merajalela..

Pandangan tersebut menunjukkan suatu gugatan keras terhadap kondisi jati diri bangsa Indonesia secara keseluruhan, khususnya pihak-pihak yang tidak paham esoterisme ideologis, termasuk penyusun RUU HIP. Ini setidaknya menunjukkan, bahwa dalam konstruksi bangsa ini, masih banyak kelompok yang layak distigma sedang mengidap penyakit "kanibalistik ideologis", sehingga kalaupun dicarikan harus disembuhkan secara serius.

Mereka itu menyebut diri sebagai penghafal dan pengamal Pancasila, padahal sejatinya mereka telah menjatuhkan opsi sebagai subyek yang melukai atau menodai  ("menjagal") secara personal dan kelompok, serta sistematis terhadap Pancasila.

Mereka itu barangkali paling sering membuat pernyataan tentang pentingnya hidup jujur, bersatu, beradab, dan bersaudara, serta berkeadilan sesuai Pancasila, namun dalam kenyataannya, mereka pun sering membenarkan ketidakjujuran, kemunafikan, dan kebiadaban ("penganibalan" prinsip kemanusiakan manusia lain).

Dalam ranah demikian itu, sudah seharusnya RUU HIP tidak perlu dilanjutkan. Masih banyak pekerjaan besar untuk bangsa dan negara ini yang diperintahkan oleh Pancasila untuk diamalkan secara berketuhanan, berkejujuran, berkebenaran, berkemanusiaan, dan berkeadilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun