Terbukti tidak sedikit model perilaku manusia Indonesia, baik secara individual maupun kolektif, yang menunjukkan pola berpikir, bersikap, dan berperilaku yang bermodus meninggalkan atau "menjagal" doktrin Pancasila, di antaranya berpola sepak terjang atau aktivitas terbuka dan tersembunyi yang membahayakan negara kesatuan republik Indonesia (NKRI).
Akibatnya, ideologi Pancasila seperti menjadi sebuah ideologi yang gagal melaksanakan tugasnya guna membangun dan merajut setiap elemen bangsa, padahal ini bukan ideologinya yang gagal, melainkan manusia-manusiannya yang memilih jalan hidup sesat (secara ideologis, agama, dan hukum negara).
Pancasila dalam perjalanan sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia telah mengalami reduksi kebermakaan sakralitasnya akibat "diadaptasi" atau "diinterpretasi" ("dikanibalisasi") secara sekuleristik sesuai dengan kepentingan eksklusif pihak-pihak tertentu, terutama kelompok yang menahbiskan klaim kebenaran.
Bukti kesalahan manusia terhadap Pancasila sudah banyak di antaranya ketika Pancasila digunakan sebagai alat untuk memaksa rakyat setia kepada pemerintah yang berkuasa saat rezim Orba dengan menempatkan Pancasila sebagai satu-satunya asas dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat tidak diperbolehkan menggunakan asas lain sekalipun tidak bertentangan dengan Pancasila.
Kita belum lupa saat pemerintah Orba berupaya menyeragamkan paham dan ideologi bermasyarakat dan bernegara dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang bersifat pluralistik.Â
Oleh sebab itu, MPR melalui Sidang Istimewa tahun 1998 dengan Tap. No. XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) dan menetapkan Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara dari negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara (Satriya, 2007).
Di satu sisi, saat era reformasi, Pancasila kembali digunakan sebagai "generator" kalangan reformis untuk melawan, menghentikan, atau menyembuhkan berbagai bentuk penyakit bangsa, khususnya warisan penyakit Orde Baru.Â
Di sisi lain, dalam perjalanan era reformasi ini, pelukaan atau "kanibalisai" terhadap era reformasi terjadi dimana-mana, khususnya dari sekumpulan individu atau komunitas tertentu, yang sikap dan sepak terjangnya tidak berbeda dan bahkan lebih parah dibandingkan Orba.
Dalam ranah itu, Pancasila bukannya dijadikan ideologi gerakan reformasi, tetapi sebatas aksesoris pembenaran ambisi dan pergulatan kepentingan politik dan keserakahan kelompok tertentu. Menjamurnya berbagai model korupsi jamaah saat awal-awal reformasi merupakan salah satu bukti kemenangan para kleptokrat jabatan dalam mereduksi dan menggilas nilai-nilai Pancasila.Â
Guruh Sukarno Putra pernah mengkritik keras dalam tulisannya "Sekali Pancasila, Tetap Pancasila", bahwa hingga kini, kita masih diliputi keprihatinan karena hampir seluruh sila Pancasila belum terwujud. Lihat saja, banyak warga mengalami kesulitan menjalankan ibadah menurut keyakinannya. Sila Kerakyatan atau demokrasi belum dihayati, terbukti banyak kekerasan dan kerusuhan.Â
Dampak belum dihayatinya Pancasila, yaitu kebobrokan moral, berdampak pada manusia, alam, dan lingkungan. Alam murka akibat perilaku manusia tidak ramah lingkungan. Bencana alam kecil sampai besar terus terjadi. Sebagian orang religius menganggap ini adalah pertanda azab. Orang spiritual menyebut ini karma karena ada sebab-akibat, sedangkan orang yang berpancasila akan menilai, hal ini sebagai pertanda ketidak-adaban manusia yang merajalela..