Pandangan tersebut menunjukkan suatu gugatan keras terhadap kondisi jati diri bangsa Indonesia secara keseluruhan, khususnya pihak-pihak yang tidak paham esoterisme ideologis, termasuk penyusun RUU HIP. Ini setidaknya menunjukkan, bahwa dalam konstruksi bangsa ini, masih banyak kelompok yang layak distigma sedang mengidap penyakit "kanibalistik ideologis", sehingga kalaupun dicarikan harus disembuhkan secara serius.
Mereka itu menyebut diri sebagai penghafal dan pengamal Pancasila, padahal sejatinya mereka telah menjatuhkan opsi sebagai subyek yang melukai atau menodai  ("menjagal") secara personal dan kelompok, serta sistematis terhadap Pancasila.
Mereka itu barangkali paling sering membuat pernyataan tentang pentingnya hidup jujur, bersatu, beradab, dan bersaudara, serta berkeadilan sesuai Pancasila, namun dalam kenyataannya, mereka pun sering membenarkan ketidakjujuran, kemunafikan, dan kebiadaban ("penganibalan" prinsip kemanusiakan manusia lain).
Dalam ranah demikian itu, sudah seharusnya RUU HIP tidak perlu dilanjutkan. Masih banyak pekerjaan besar untuk bangsa dan negara ini yang diperintahkan oleh Pancasila untuk diamalkan secara berketuhanan, berkejujuran, berkebenaran, berkemanusiaan, dan berkeadilan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H