Oleh: Abdul Wahid
Ulang Tahun Kepolisian Republik Indonesia yang ke-74 kali ini sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Kali ini dilakukan dengan cara virtual. Cara ini  membuat Polri ibarat diajak melakukan refleksi dan membuktikan diri bahwa dirinya mempunyai sense of crisis.
Pidato Presiden Jokowi Widodo di hadapan para Menteri dan sejumlah pejabat penting yang menjadi viral bernada kemarahan, dimana diantaranya ditujukan pada para "pembantunya" yang belum menunjukkan kinerja maksimalnya, padahal menurutnya (Presiden), persoalan yang dihadapi bangsa ini seiring dengan pandemi Covid-19 sangat serius yang membutuhkan penanganan istimewa, dan bukan yang biasa-biasa atau bersifat "exstra ordinary", adalah patut menjadi renungan bagi para elitis, termasuk Polri.
Bagi Polri, apa yang disampaikan Presiden itu selayaknya digunakan sebagai pelecut kinerjanya, bahwa menghadapi Covid-19 ini identik sebagai tantangan riil yang menguji ketangguhannya sebagai pilar konstruksi bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Ada pernyataan dari Ernest Newman "Orang-orang hebat di bidang apapun bukan baru bekerja karena mereka terinspirasi, namun mereka menjadi terinspirasi karena mereka lebih suka bekerja. Mereka tidak menyia-nyiakan waktu untuk menunggu inspirasi".
Pernyataan Ernest Newman layak digunakan sebagai pesan moral untuk Ultah Polri ke-74 ini. Newman secara tidak langsung berpesan pada Polri supaya selain berhobi pekerja, juga menjadi inspirator, sehingga kinerjanya merupakan perwujudan  kinerja kers dan cerdas.
Polri memang harus menyukai dan bahkan menahbiskanpekerjaannya. Indikasi menyukai ini berelasi dengan inspirasi yang dikonstruksinya. Inspirasi merupakan bukti penggalian ide-ide demi menjalankan dan mengembangkan profesinya.
Dalam ranah itu, polri tidak perlu harus menunggu apakah dapat apresiasi atau tidak, pasalnya yang terpenting adalah bagaimana profesinya mampu memberikan yang terbaik untuk masyarakat dan bangsa ini.Â
Memang hingga sekarang, tampaknya apresiasi publik terhadap keberhasilan Polri di dalam melawan, membongkar, atau menanggulangi beberapa kejahatan berkategori serius masih rendah. Misalnya kinerja Polri dalam membongkar kejahatan kekerasan bertipe istimewa (exstra ordinary crime),  seperti narkoba, terorisme, perdagangan manusia,  korupsi, dan lainnya  belum disambut gempita oleh publik.
Terbukti, meski belakangan ini polri sudah berkali-kali berhasil membongkar kejahatan berat atau bertipe exstra ordinary crime, Â akan tetapi kinerjanya ini masih disambut adem ayem oleh masyarakat.
Nasih setengah hatinya "kado" dalam bentuk ucapan selamat kepada Polri tersebut, barangkali tidak perlulah membuat polri merasa dianak-tirikan atau dimarjinalkan oleh masyarakat.
Meski masyarakat tidak secara verbal menyampaikan ucapan terima kasih atas kinerjanya, tetapi suara emas (diam) masyarakat tentulah tetap mengakui kalau polri sudah berusaha memberi  "kado" untuk negeri ini, bahkan dengan pertaruhan nyawa. Masyarakat mengakui, bahwa hanya polrilah aparat penegak hukum yang berani secara terbuka rela mati demi memproteksi dirinya.
Dengan belum adanya pengakuan masyarakat secara terbuka terhadap polri tersebut, secara tidak langsung sikap publik ini identik pemberian "kado" dalam bentuk  "wahyu kerakyatan" pada polri, bahwa masih banyak ayat-ayat regulasi negara dan idealisme masyarakat (publik) terhadap polri yang belum bisa dipenuhinya.
Yang sudah dipenuhi oleh polri, barangkali di mata masyarakat masih kurang banyak, sehingga apresiasi terhadap keberhasilan kinerja Polri seperti dalam mengobrak-abrik sarang teroris atau membongkar sindikat narkoba belum dijadikannya sebagai standar utama kesuksesannya.
Memang idealnya, apresiasi (kado) masyarakat untuk Polri tetap harus disampaikan atas kinerjanya dalam membongkar kejahatan. Prestasi di bidang "jihad" lawan teroris dan narkoba misalnya jelas bukan prestasi biasa, pasalnya  apa yang dilakukan oleh Polri ini diikuti pertaruhan  tenaga dan nyawa.
Kematian sejumlah prajurit polri saat bertugas melawan teroris menjadi bukti, bahwa tidak sedikit di antara mereka yang bermaksud menjadikan profesinya berjalan dalam ranah adiluhung sebagaimana elemen bangsa lain yang mencintai tanah airnya.
Kinerja di lapangan yang dilakukan oleh polri dalam melawan teroris misalnya ibarat perang, meminjam istilah Tharmidzi Taher"melawan hantu", pasalnya teroris  bisa ada dimana saja, yang menuntut ekstra kehati-hatiannya. Jika tidak  hati-hati, maka nyawanya bisa melayang.
Kinerja Polri itu tidak kalah dengan yang dilakukan oleh setiap subyek bangsa yang berusaha memberikan yang terbaik untuk negaranya. Mencibir Polri memang hak setiap orang, namun mengapresiasinya adalah identik mengapresiasi diri sebagai sesama subyek  atau pelaku  strategis yang punya  amanat mulia dalam menjaga dan mencerahkan  negara ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H