Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jangan Ada Jugun Ianfu

26 Juni 2020   16:26 Diperbarui: 26 Juni 2020   16:26 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Abdul Wahid

Pengajar Fakultas Huku Univeritas Islam Malang

"Bangkitlah pelacur Indonesia, gugat kemapanan, lawan kebinatangan, bongkar budaya penindasan, hancurkan kemunafikan, jangan biarkan keringat menetes tanpa upah memanusiakan, jangan biarkan pak Oknum Punggawa negeri memeras, menjeritlah ketika vonis hakim menjerat, dan bersatulah membasmi tengkulak-tengkulak yang selalu dahaga memperbudakmu". (F. Maulidiyah, "Kebangkitan Pelacur", 2005)

Sajak bebas tersebut sejatinya mengespresikan nasib komunitas perempuan Indonesia yang diperdagangkan menjadi pelacur. Mereka masuk atau dijerumuskan dalam wilayah abu-abu atau dunia hitam pekat yang dalam nuraninya paling dalam, wilayah ini bukan kehendaknya, bukan pilihan wajarnya, dan bukan "profesi" yang benar-benar dipilihnya, tetapi pekerjaan yang bersifat darurat, ada keterpaksaan, pengorbanan, dan ketertindasan sistemik.

Di dunia ini. hakikatnya tidak ada seorang perempuan pun yang sebenarnya mau diperdagangkan secara seksual atau menerima "profesi" itu. Berapapun pendapatan yang bisa diperoleh dari jagad gelap ini, bagi perempuan dan masyarakat beragama seperti Indonesia ini, pelacuran tetaplah perbuatan yang dikutuk.

Persoalannya, mengutuk perempuan saja yang menjadi korban perdagangan seksual sama artinya dengan memposisikan perempuan berada dalam ketidakberdayaan berlapis-lapis. Mereka ini jadi pelacur atau "dijadikan" penjual diri umumnya karena ada sindikat yang merekayasa, ada unsur penipuan dan pembohongan yang terorganisir, ada strategi represip dan dehumanistik yang  menempatkannya sebagai obyek yang menguntungkan. Sindikat ini tidak mengenal masyarakat sedang terhimpit penyakit Covid-19.


Mereka itu dibuat terjebak, tak berdaya, tak ada kekuatan melawan, tak ada dukungan politik, tak ada kemampuan ekonomi memadai, tak ada piranti hukum yang benar-benar memediasi dan mengadvokasi, dan tak ada punggawa negara atau alat-alat rezim yang benar-benar suci  membela dan memanusiannya. Bahkan, mereka (oknum punggawa) inipun ikut berlomba membuka kran dan memperlancar, serta melestarikan perdagangan perempuan ini, bulai dari klas "kampung, kampus, dan gedongan".

Peneliti dan penulis kenamaan Moeamammar Emka di dua bukunya berjudul "Jakarta Undercover 1 dan 2" misalnya juga mengupas beberapa model pelacuran kelas elit, yang bisa dijadikan sebagai acuan merefleksi perkembangan dunia prostitusi.  Misalnya dari kalkulasi ekonomi yang berpijak dari harga kencan dengan wanita panggilan,  wanita sewaan, atau wanita-wanita cantik berpenampilan selebriti, dapat diperoleh angka keuntungan yang menakjubkan, yang bisa menggiurkan segmen bisnis manapun.

Meski sudah data lama, dalam kalkulasi Emka itu disebutkan, dalam satu tahun,   uang yang beredar di "bisnis kelenjar" itu  bisa mencapai Rp.14,952 trilyun. Kalau jumlah ini dikorelasikan dengan perkembangan industri seks yang semakin melaju pesat, maka bisa mengalami kenaikan dua atau tiga kali lipat. Ini berarti bukan tidak mustahil, dalam setahun bisnis ini mencapai "omset" senilai  Rp. 44.856 Trilyun.

Dari data kasar yang disuguhkan Emka tersebut, sebenarnya hal itu masih patut kita tempatkan sebagai fenomena Gunung Es, yang hanya tampak di permukaan, sementara realitasnya masihlah berlipat-lipat, apalagi apa yang dilakukan oleh Emka itu tidak sampai menjangkau perdagangan perempuan dengan atas nama TKW atau kerja di dalam atau luar negeri, yang realitasnya tidak sedikit dijerumuskan dalam lokasi-lokasi pelacuran atau dijadikan sebagai jugun ianfu (perempuan bayaran, perempuan yang diperbudayak), yang nota bene perbudakan seks kontemporer.

Dalam kasus tersebut, dapat terbaca bahwa kecenderungan lomba melacurkan (memperdagangkan secara seksual) perempuan Indonesia juga semakin tinggi. Dari beberapa cerita perempuan Indonesia yang dipekerjakan di luar negeri, boleh dikatakan 2:4 yang dijerumuskan atau "dilombakan" oleh cukong, makelar, tengkulak, atau siapa saja yang terlibat dalam pengerahan tenaga kerja perempuan yang disalah-alamatkan itu. Penyalah-alamatan ini juga didasari oleh dalih, bahwa bisnis seks masihlah menjadi sumber mengail keuntungan ekonomi secara gampang dengan resiko kecil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun