Oleh: Abdul Wahid
Dalam banyak tulisan bertajuk keteladanan dapat ditemukaan paparan tentang nasihat moral, agama, edukasi dan lainnya yang disampaikan Luqmanul Hakim,  Ada salah satu nasihat dari Luqmanul Hakim yang berbunyi "wahai anakku, apabila kantong perutmu penuh padat, maka pikiranmu akan tidur, dan hikmah kebijaksanaanmu  menjadi tumpul dan anggota badanmu lemah dalam mengamalkan ibadah".
Nasihat  Luqmanul Hakim itu sebagai kritik terhadap manusia-manusia yang gagal mendidik perutnya, yang membiarkan perutnya dalam kekenyangan, atau giat mengisi perutnya dengan ragam menu, yang tentu saja mengakibatkan badanya sarat kolesterol, gampang mengantuk, malas melakukan kegiatan yang menyita pikiran dan menguras tenaga, serta nalarnya tumpul dan mandul saat dihadapkan dengan problem besar masyarakat dan bangsa.
Luqman bermaksud mengingatkan atau memberikan pesan edukatif pada manusia secara keseluruhan (bukan hanya kepada keluarganya), bahwa siapapun yang kantong perutnya sarat makanan, maka anatomi tubuhnya tak ubahnya raga yang kehilangan makna. Kehadirannya tidak bisa memberikan makna kemanfaatan, karena isi perutnya jadi penyakit  yang menghambat dan "membunuh" kreasi-kreasinya. Inilah yang disebut sebagai bagian dari pembentukan kualitas sumberdaya manusia.
Para pembelajar tentulah tidak asing, bahwa dalam suatu idiom keseharian yang sering terucap atau mudah terdengar adalah "kalau kita makan, kita gampang berkeringat, kalau kita kerja, kita sulit berkeringat". Ada apa dengan idiom ini?
Suatu realitas bisa terbaca dengan gampang, bahwa  sehari-hari kita ini sangatlah akrab dengan persoalan makan dan kerja. Meski demikian, "kekerabatan" makan masih lebih tinggi frekuensinya dibandingkan kerja.  Artinya tingkat konsumsi manusia terhadap makan atau minum, lebih sering dijadikan standarisasi hidupnya.
Kita paham, seseorang bisa saja makan enak dan tanpa kerja, tanpa berfikir darimana produk makananya dan kualitas apa saja yang dimakannya, serta berapa jumlah uang yang dikeluarkan untuk membayar menu makanannya, yang karena seriusnya menikmati menu makanan ini, akhirnya dari pori-porinya keluar keringat laksana hujan rintik-rintik. Baju yang dikenakan pun sampai basah kuyub akibat tak kuasa menolak derasnya keringat yang dikeluarkan dari tubuhnya.
Itulah jenis manusia yang mengabdi (memperbudak) pada raga, pada panggilan perut, atau sebatas memuaskan kepentingan perut. Kepentingan ini menjadi salah satu "primadona" karena diakui dan bahkan ditahbiskan ke ranah budaya.
Itulah yang mengakibatkan raga dibuatnya kehilangan makna (meaningless), karena sebatas disuapi, digerojok, dipenuhi, atau diperlakukan layaknya "keranjang sampah" yang sarat bermacam-macam aneka makanan, yang bisa mengeluarkan dan mengalirkan keringat.
Beda halnya dengan soal kerja, kendati seharusnya hal ini menguras pikiran dan keringat, toh tetap saja sulit bisa keluar atau pori-porinya tidak mampu membuka diri untuk mengeluarkan keringat. Manusia seperti ini hanya tahu ada pekerjaan dan penghasilan yang diperolehnya dari pekerjaan, tetapi pekerjaanya jauh dari sikap kesungguhan, memeras keringat, dan mengasah pikiran. Â Apa yang diperbuatnya sekedar memenuhi formalitas pekerjaan, dan bukan kebermaknaan dan kemaslahatan makro dari pekerjaannya.
Sebutan pemalas dan masyarakat bermental lembek yang selama ini melekat dalam diri sebagian masyarakat kita seharusnya juga kita selidiki melalui kondisi raga kita, yang barangkali memang sedang kehilangan energi, semangat, etos kerja, dan kecemerlangan berfikir akibat banyaknya ragam menu makanan yang mengisi dan menjerat atau "menjajah" perut kita.
Dalam kondisi bangsa sedang menghadapi masalah pangan akibat serangan pandemi Covid-19, sudah seharusnya setiap diri kita mendekonstruksi kultur pemujaan kepentingan perut sendiri atau keluarga dengan mengalihkannya pada "banyak perut" rakyat (sesama) yang sedang dihadapkan dengan masalah kesulitan pangan.
Sabda Nabi Muhammad pernah mengingatkan kepada kita "makanlah di saat kalian benar-benar sedang lapar, dan berhentilah makan sebelum kalian kenyang", adalah suatu peringatan kepada kita, bahwa standar makanan  dalam perut merupakan dosis yang menentukan watak, semangat, dan tingkat berfikir seseorang. Ketika seseorang sedang dalam perut kenyang, maka seseorang demikian ini sulit untuk diajak berfikir serius dengan mata bening, mengingat dalam perutnya lebih dominan mengajak tidur, bermalas-malasan, dan bersantai-santai.
Peringatan Nabi tersebut juga dimaksudkan mendidik kita, supaya tidak mengikuti atau menghamba pada syahwat mengenyangkan perut. Begitu rasa lapar sudah terpuaskan (teratasi), seharusnya kita secepatnya menyudahi aktifitas makannya ini supaya mata tetap terjaga, fisik menunjukkan kebugaran, dan nalar tidak sampai tumpul.
Budaya  pesta yang bertabur makanan mahal dan sekedar memuaskan kepentingan perut merupakan pola hidup yang jauh dari kecerdasan dan justru potensial menjerumuskan pelakunya dalam ketidakberdayaan, setidak-tidaknya mengidap reduksi makna dari aktifitas-aktifitas yang diperbuatnya.  Kondisi ini jika dibiarkan berlanjut, akan membuat bangsa dan masyarakat ini semakin lekat dalam julukan sebagai bangsa lembek, atau minimal bangsa yang hanya obesitas dalam raga, namun "miskin" dalam karya. Bagaimana mungkin bisa berpacu dalam  karya, kalau fisik dan kecepatan berfikir atau berinovasinya lambat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H