Dalam kondisi bangsa sedang menghadapi masalah pangan akibat serangan pandemi Covid-19, sudah seharusnya setiap diri kita mendekonstruksi kultur pemujaan kepentingan perut sendiri atau keluarga dengan mengalihkannya pada "banyak perut" rakyat (sesama) yang sedang dihadapkan dengan masalah kesulitan pangan.
Sabda Nabi Muhammad pernah mengingatkan kepada kita "makanlah di saat kalian benar-benar sedang lapar, dan berhentilah makan sebelum kalian kenyang", adalah suatu peringatan kepada kita, bahwa standar makanan  dalam perut merupakan dosis yang menentukan watak, semangat, dan tingkat berfikir seseorang. Ketika seseorang sedang dalam perut kenyang, maka seseorang demikian ini sulit untuk diajak berfikir serius dengan mata bening, mengingat dalam perutnya lebih dominan mengajak tidur, bermalas-malasan, dan bersantai-santai.
Peringatan Nabi tersebut juga dimaksudkan mendidik kita, supaya tidak mengikuti atau menghamba pada syahwat mengenyangkan perut. Begitu rasa lapar sudah terpuaskan (teratasi), seharusnya kita secepatnya menyudahi aktifitas makannya ini supaya mata tetap terjaga, fisik menunjukkan kebugaran, dan nalar tidak sampai tumpul.
Budaya  pesta yang bertabur makanan mahal dan sekedar memuaskan kepentingan perut merupakan pola hidup yang jauh dari kecerdasan dan justru potensial menjerumuskan pelakunya dalam ketidakberdayaan, setidak-tidaknya mengidap reduksi makna dari aktifitas-aktifitas yang diperbuatnya.  Kondisi ini jika dibiarkan berlanjut, akan membuat bangsa dan masyarakat ini semakin lekat dalam julukan sebagai bangsa lembek, atau minimal bangsa yang hanya obesitas dalam raga, namun "miskin" dalam karya. Bagaimana mungkin bisa berpacu dalam  karya, kalau fisik dan kecepatan berfikir atau berinovasinya lambat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H