TERLAMBAT
ABDUL WAHAB, S.Pd,MM*
Â
Namaku Ahmad, suratan takdir telah menghatarkan hari-hariku mengisi aneka cerita di ruang yang cukup lebar seukuran 8 x 9 m ini. Sebuah  ruang sederhana tetapi teramat mewah suwasananya, riuh gemuruh canda, tawa, kreasi, dan diskusi, terpadu menyatu menjadi diksi-diksi yang penuh arti. Ruang persegi yang cat temboknya mulai kusam, dan mengelupas, berhias porto folio, serta tugas-tugas, terangkai bagai mozaik seni yang artistik nan nyentrik.  diruang ini lah aku mewarnai sebagian waktuku untuk mewariskan cahaya pelita yang ditipkan Tuhan kepadaku, untuk anak-anak ideologisku. Di ruangan ini pula aku bereskplorasi dan berkreasi, serta bereksperimen membongkar pasang aneka strategi dan model pembelajaran yang terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, tepatnya tuntutan kurikulum yang digariskan pemerintah yang silih berganti, mengikuti kebijakan kata hati sang menteri.
Di tempat ini pula aku berusaha mengubur rapat-rapat, sembari menghibur dalam kelam, peristiwa pupusnya kisah percintaan muda mudi yang kandas karena dihantui bayang-bayang materi.
***
Adalah ibu guru Astuti, putri tunggal bapak Haji Jumadi saudagar tanah dikampung ini. Bunga desa yang elok rupawan, lagi bagus budi pekerti, laki-laki mana yang tidak akan dibuat terkesima dan jatuh hati padanya. Dengan  keelokan  paras ayunya, serta segudang materi yang dimiliki orang tuanya. Namun entah mengapa perhatiaanya seolah selalu tertuju padaku, menyiratkan harapan padaku untuk mempersuntingnya, dan menjadikan dia sebagai pendamping hidupku.
Â
Berawal dari patner kerja di sekolah tempatku mengajar, ia sering mendiskusikan hal yang berkaitan dengan hambatan kegiatan pembelajaran yang kerap dialami, mulai dari hasil ulangan yang tidak sesuai harapan, penerapan model dan strategi pembelajaran yang belum matching, sampai dengan masalah yang berkaitan dengan akhlak siswa yang mulai tergerus oleh perkembangan zaman. Diskusi demi diskusi dilalui mengalir, cair, penuh keakraban tanpa hambatan dan berbuah solusi yang mencerahkan.
Kedaan  inilah yang bisa jadi membuatnya terkesima padaku, dan sebaliknya akupun diam-diam mulai terposana padanya, gadis cerdas yang tak berhenti untuk terus belajar, belajar, dan belajar. Hubunganku dengan Astuti  kian hari kian dekat, selain diskusi bareng, kita juga sering jalan bareng mengantarnya pulang selepas mengajar, dengan bermodal sepeda motor tua peninggalan bapak. Menyusuri lika-liku jalan di sepanjang pingiran aliran sungai, melewati pematang sawah yang luas terhampar, dan rindangnya perkebunan warga, kadang ia juga menemaniku mengajari anak-anak mengaji di mushola samping rumah, selepas ashar.
Keadaan yang tak biasa  ini tentunya, membuat teman-teman seprofesiku terus berusaha untuk menjodoh-jodohkan aku dengan dia. Dikala  waktu senggang saat jam istirahat, kami biasa berkumpul dan bercengkrama di ruang guru. Saat  itulah waktu yang asyik untuk berbagi cerita, tawa, dan canda.  Sesekali mengulik isi hati kita berdua. Tentunya  saat salah satu dari kita,  tidak ada jam mengajar disekolah.
"Pak Ahmad, tunggu apa lagi ayo datangi rumah orang tuanya, minta izin untuk persunting bu guru Astuti, jangan sampai nanti kedahuluan orang  nati nyesel loh, betul tidak bu Sugeng?" canda pak Parjo mengawali obrolan. " leres niku pak Parjo,leres...  menurut aku wis ana chemistry'e, lah  kang lanang ya guanteng lir kaya arjuna, kang wodon ayu kaya wara sumbadra, lan kabeh pada pintere, bagus pituture, apik pekertie, pokoke klop pak Ahmad. Ayo nunggu apa lagi toh?" sambung bu Sugeng menjawab pertanyaan pak Parjo, dengan logat jawanya yang kental.
"Pak Parjo, bu Sugeng, saya dengan ibu guru Astuti  itu tidak ada hubungan apa-apa hanya sebatas teman, kalaupun ada yaa..., hanya sebatas hubungan adek  kakak gitu. Aku sudah menganggap Astuti  seperti halnya adikku sendiri."  Jawabku singkat meyakinkan mereka.
Meskipun secara jujur aku tidak bisa menyembunyikan kata hatiku, selama ini aku memendam rasa padanya, namun jika memandang setatus orang tuanya, maka siapalah aku ini, ibarat pungguk merindukan bulan. Kasihpun dipastikan tidak akan sampai. Aku hanyalah anak petani penggarap, dan status  guru yang diembanku hanyalah guru honorer, bukan PNS, yang tentunya pendapatanku dari mengajar  tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhannya, sebagaimana orang tuanya memenuhi segala kebutuhnnya selama ini. Aku takut jika kuungkapkan rasa yang terpendam ini, hanya akan membuat diriku kecewa, dan kalaupun rasa ini bersambut, aku takut tidak bisa membahagiakan dia.
" Pak Ahmad, pak Ahmad, loh kok ngelamun toh! Begini pak, kami-kami ini paham isi hati bapak, kami juga pernah muda pak, dan pernah mengalami kegalauan yang sama dizamannya. Seolah ada keraguan, maju mundur untuk mengungkapkan rasa yang sesungguhnya, seakan-akan kita tidak  berdaya jika hidup berumah tangga karena harus menafkani istri, dan anak-anak kelak dengan gaji yang masih ala kadarnya. Tapi ingat pak Ahmad  kita punya Tuhan, dan Tuhan tidak akan berhenti menebarkan rizki-Nya untuk semua mahluk-Nya yang mau berusaha. Jika hari ini status bapak masih honorer, bapak jangan tersandra oleh status tersebut. Peluang untuk jadi ASN itu terbuka lebar pak, apa lagi saat ini negara kita sedang membutuhkan guru dalam jumlah yang cukup banyak untuk menambal ribuan guru yang akan memasuki purna bhaktinya. Jadi sebelum terlambat cobalah bapak ungkapkan rasa yang sejujurnya pada bu guru Astuti."  Sambung pak Parjo membuyarkan lamunanku, dan memberiku nasehat dan motivasi yang berharga pada diriku untuk masa depanku.
"enggih pak matur nuwun, nanti saya akan coba. Nyuwun pendongane mawon nggih pak Parjo, bu Sugeng. Saya izin masuk kelas". Pungkasku mengakhiri obrolan karena bel sudah berbunyi.
***
Sekaranglah waktunya. Waktu yang kuanggap tepat, waktu yang selama ini telah kusia-siakan, waktu yang selama ini aku tunggu-tunggu. Tidak seperti biasa saat aku mengantarnya pulang, Aku berhentikan laju sepeda motorku, dan kuparkirkannya disamping  gubug pematang sawah yang biasa kami lewati, dengan gremicik beriak air aliran sungai yang membawa nuansa tentram. Aku berharap ia akan menjadi saksi bisu kebahagiaanku, saat aku utrakan isi hatiku padanya.
"Dek Astuti , boleh mas berkata jujur pada adek?" Aku mengawali pembicaraan ku, dengan bertanya pada gadis yang berada disampingku. "Jujur apa toh mas?" jawabnya balik bertanya, penasaran. " Dek sudah lama mas kenal sama adek, dan adek pun mengenal mas, hubungan kita juga sudah teramat akrab, kita sering diskusi bersama, jalan bersama. Kalau boleh jujur..., selama ini mas memendam rasa padamu dek, aku cinta padamu dek, ya dek aku mencintaimu!" Aku pelahan mulai mengungkapkan rasa hatiku padanya.
"Sebenarnya sedari dulu aku sudah tahu mas, mas Ahmad  ada rasa pada Astuti, namun..., lama mas, lama... Tuti  tunggu kata-kata itu, hari berganti bulan, bulan berganti bulan, bahkan kini berganti tahun,  tapi tidak jua muncul dari bibirmu ungkapan itu mas. Seolah ada keraguan yang menghalangi keberanian mas untuk mengungkapkan rasa cinta itu, apalagi niatan meminag Astuti pada bapak untuk menjadikan Tuti sebagai istrimu. Jujur mas Astuti  juga mempunyai perasaan yang sama, Tuti cinta mas Ahmad, Astuti  juga punya mimpi merajut kebahagiaan hidup bersama mas Ahmad bersama anak anak kita, namun itu sudah terlambat mas, terlambat...!" jawab Astuti  meluapkan kekecewaannya selama ini pada ku. Di iringi derai air matanya yang mengalir di sela-sela pipinya.
"Terlambat bagaimana, toh dek ? tanyaku penuh selidik . "Mas tidakkah kau lihat cincin yang kini bertahta dijari manis Tuti, aku berharap cincin ini adalah cincin ikatan cinta kita mas!, namun sayangnya cincin ini milik mas Danu seorang perwira polisi anak sahabat bapak, yang tempo hari melamar Tuti" jawabnya sembari terisak memandangi cincin yang ada dijari manisnya.
"Ini yang mas khawatirkan dek, tetentunya setiap orang tua ingin memberikan jodoh terbaik bagi putrinya, yang bisa mengayomi, menyayangi, memberikan kebahagiaan dan memberikan nafkah lahir batin yang cukup. Sementara mas ini apa dek...hanya seorang guru honorer." aku coba menjelaskan sembari menggenggam kedua tangnnya, namun dipotongnya dan tanganku dihempaskan olehnya.
" Stop mas! jangan sampai ketidak beranian mas, akan mengkambing hitamkan bapak sebagai orang tua yang hanya mementingkan harta dari pada kebahagiaan putrinya. Itu keliru mas, keliru!, kurang apa perhatian dan keterbukaan bapak pada mas, saat mas berkunjung kerumah pernahkah bapak menghindar, tidak kan...? malah bapak memperlakukan mas dengan baik, meluangkan waktunya untuk ngobrol santai dengan mas, dan terkadang ngopi bareng sambil bermain catur bersama diteras rumah. Sampai pada saatnya bapak menanyakan pada Tuti. Adakah laki-laki yang saat ini sedang memikat hati Astuti, dengan polos Tuti  jawab tidak ada. dan beliau juga menanyakan keseriusan hubungan Tuti dengan mas Ahmad, lalu oleh Astuti  jawab hubungan antara Tuti dan mas Ahmad  hanya sebatas teman kerja, kalaupun lebih Tuti sudah menganggap mas Ahmad  sebagai kakak Tuti sendiri. Kenyataannya seperti itu kan mas? Sampai pada akhirnya, bapaknya mas Danu melamar Astuti  untuk mas Danu ke bapak mas.  Itu mas, asal mas tau!" Jawabnya meluapkan semua emosi yang dipendamnya.
" dan mulai sekarang, jika mas Ahmad berkenan, anggap Tuti sebagai adek mas sendiri, tidak lebih dari itu. Agar luka ini tidak teramat perih dan hubungan kita baik-baik saja, serta demi menjaga marwah keluarga. dan Tuti mohon izin, biarlah hubungan kita mulai saat ini berjarak, tak seakrab dan seintim dulu lagi. Karena bagaimanapun Astuti  tidak mau mencoreng harga diri orang tua, mengingat saat ini tuti sudah dalam pinangan orang lain, mas." Pungkasnya.
" Ya Allah dek maafkan mas, maafkan atas ketidak berdayaan dan keraguaan mas selama ini. andai mas tau sudah aku ungkapkan rasa itu dari dulu. Namun sekarang sudah terlambat, hanya satu harapan mas padamu, semoga tuti  bahagia dengan Danu, sekali lagi..., maafkan mas dek. mas tidak lebih dari pecundang yang sudah kalah sebelum berperang." sesalku sambil menyeka bulir-bulir air mata yang akan meluncur dari kelopaknya.
***
Sejak saat itu, aku tidak lagi bisa memandang wajah ayunya, meraskan  kehangatan tawanya. Astuti mengajukan pengunduran diri sekolah tempat kami mengajar, dan akupun tidak berani untuk mendekatinya sesuai isi pesannya. Biarlah dia bahagia dengan pendamping hidupnya, dan diruang kelas inilah, aku coba merajut kembali perjalannan hatiku untuk mendapatkan pelabuhan tambatannya.
___
*) Penulis adalah Guru MA Al Adzkar Gunungjati-Cirebon
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H