" Stop mas! jangan sampai ketidak beranian mas, akan mengkambing hitamkan bapak sebagai orang tua yang hanya mementingkan harta dari pada kebahagiaan putrinya. Itu keliru mas, keliru!, kurang apa perhatian dan keterbukaan bapak pada mas, saat mas berkunjung kerumah pernahkah bapak menghindar, tidak kan...? malah bapak memperlakukan mas dengan baik, meluangkan waktunya untuk ngobrol santai dengan mas, dan terkadang ngopi bareng sambil bermain catur bersama diteras rumah. Sampai pada saatnya bapak menanyakan pada Tuti. Adakah laki-laki yang saat ini sedang memikat hati Astuti, dengan polos Tuti  jawab tidak ada. dan beliau juga menanyakan keseriusan hubungan Tuti dengan mas Ahmad, lalu oleh Astuti  jawab hubungan antara Tuti dan mas Ahmad  hanya sebatas teman kerja, kalaupun lebih Tuti sudah menganggap mas Ahmad  sebagai kakak Tuti sendiri. Kenyataannya seperti itu kan mas? Sampai pada akhirnya, bapaknya mas Danu melamar Astuti  untuk mas Danu ke bapak mas.  Itu mas, asal mas tau!" Jawabnya meluapkan semua emosi yang dipendamnya.
" dan mulai sekarang, jika mas Ahmad berkenan, anggap Tuti sebagai adek mas sendiri, tidak lebih dari itu. Agar luka ini tidak teramat perih dan hubungan kita baik-baik saja, serta demi menjaga marwah keluarga. dan Tuti mohon izin, biarlah hubungan kita mulai saat ini berjarak, tak seakrab dan seintim dulu lagi. Karena bagaimanapun Astuti  tidak mau mencoreng harga diri orang tua, mengingat saat ini tuti sudah dalam pinangan orang lain, mas." Pungkasnya.
" Ya Allah dek maafkan mas, maafkan atas ketidak berdayaan dan keraguaan mas selama ini. andai mas tau sudah aku ungkapkan rasa itu dari dulu. Namun sekarang sudah terlambat, hanya satu harapan mas padamu, semoga tuti  bahagia dengan Danu, sekali lagi..., maafkan mas dek. mas tidak lebih dari pecundang yang sudah kalah sebelum berperang." sesalku sambil menyeka bulir-bulir air mata yang akan meluncur dari kelopaknya.
***
Sejak saat itu, aku tidak lagi bisa memandang wajah ayunya, meraskan  kehangatan tawanya. Astuti mengajukan pengunduran diri sekolah tempat kami mengajar, dan akupun tidak berani untuk mendekatinya sesuai isi pesannya. Biarlah dia bahagia dengan pendamping hidupnya, dan diruang kelas inilah, aku coba merajut kembali perjalannan hatiku untuk mendapatkan pelabuhan tambatannya.
___
*) Penulis adalah Guru MA Al Adzkar Gunungjati-Cirebon
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H