"Pak Ahmad, tunggu apa lagi ayo datangi rumah orang tuanya, minta izin untuk persunting bu guru Astuti, jangan sampai nanti kedahuluan orang  nati nyesel loh, betul tidak bu Sugeng?" canda pak Parjo mengawali obrolan. " leres niku pak Parjo,leres...  menurut aku wis ana chemistry'e, lah  kang lanang ya guanteng lir kaya arjuna, kang wodon ayu kaya wara sumbadra, lan kabeh pada pintere, bagus pituture, apik pekertie, pokoke klop pak Ahmad. Ayo nunggu apa lagi toh?" sambung bu Sugeng menjawab pertanyaan pak Parjo, dengan logat jawanya yang kental.
"Pak Parjo, bu Sugeng, saya dengan ibu guru Astuti  itu tidak ada hubungan apa-apa hanya sebatas teman, kalaupun ada yaa..., hanya sebatas hubungan adek  kakak gitu. Aku sudah menganggap Astuti  seperti halnya adikku sendiri."  Jawabku singkat meyakinkan mereka.
Meskipun secara jujur aku tidak bisa menyembunyikan kata hatiku, selama ini aku memendam rasa padanya, namun jika memandang setatus orang tuanya, maka siapalah aku ini, ibarat pungguk merindukan bulan. Kasihpun dipastikan tidak akan sampai. Aku hanyalah anak petani penggarap, dan status  guru yang diembanku hanyalah guru honorer, bukan PNS, yang tentunya pendapatanku dari mengajar  tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhannya, sebagaimana orang tuanya memenuhi segala kebutuhnnya selama ini. Aku takut jika kuungkapkan rasa yang terpendam ini, hanya akan membuat diriku kecewa, dan kalaupun rasa ini bersambut, aku takut tidak bisa membahagiakan dia.
" Pak Ahmad, pak Ahmad, loh kok ngelamun toh! Begini pak, kami-kami ini paham isi hati bapak, kami juga pernah muda pak, dan pernah mengalami kegalauan yang sama dizamannya. Seolah ada keraguan, maju mundur untuk mengungkapkan rasa yang sesungguhnya, seakan-akan kita tidak  berdaya jika hidup berumah tangga karena harus menafkani istri, dan anak-anak kelak dengan gaji yang masih ala kadarnya. Tapi ingat pak Ahmad  kita punya Tuhan, dan Tuhan tidak akan berhenti menebarkan rizki-Nya untuk semua mahluk-Nya yang mau berusaha. Jika hari ini status bapak masih honorer, bapak jangan tersandra oleh status tersebut. Peluang untuk jadi ASN itu terbuka lebar pak, apa lagi saat ini negara kita sedang membutuhkan guru dalam jumlah yang cukup banyak untuk menambal ribuan guru yang akan memasuki purna bhaktinya. Jadi sebelum terlambat cobalah bapak ungkapkan rasa yang sejujurnya pada bu guru Astuti."  Sambung pak Parjo membuyarkan lamunanku, dan memberiku nasehat dan motivasi yang berharga pada diriku untuk masa depanku.
"enggih pak matur nuwun, nanti saya akan coba. Nyuwun pendongane mawon nggih pak Parjo, bu Sugeng. Saya izin masuk kelas". Pungkasku mengakhiri obrolan karena bel sudah berbunyi.
***
Sekaranglah waktunya. Waktu yang kuanggap tepat, waktu yang selama ini telah kusia-siakan, waktu yang selama ini aku tunggu-tunggu. Tidak seperti biasa saat aku mengantarnya pulang, Aku berhentikan laju sepeda motorku, dan kuparkirkannya disamping  gubug pematang sawah yang biasa kami lewati, dengan gremicik beriak air aliran sungai yang membawa nuansa tentram. Aku berharap ia akan menjadi saksi bisu kebahagiaanku, saat aku utrakan isi hatiku padanya.
"Dek Astuti , boleh mas berkata jujur pada adek?" Aku mengawali pembicaraan ku, dengan bertanya pada gadis yang berada disampingku. "Jujur apa toh mas?" jawabnya balik bertanya, penasaran. " Dek sudah lama mas kenal sama adek, dan adek pun mengenal mas, hubungan kita juga sudah teramat akrab, kita sering diskusi bersama, jalan bersama. Kalau boleh jujur..., selama ini mas memendam rasa padamu dek, aku cinta padamu dek, ya dek aku mencintaimu!" Aku pelahan mulai mengungkapkan rasa hatiku padanya.
"Sebenarnya sedari dulu aku sudah tahu mas, mas Ahmad  ada rasa pada Astuti, namun..., lama mas, lama... Tuti  tunggu kata-kata itu, hari berganti bulan, bulan berganti bulan, bahkan kini berganti tahun,  tapi tidak jua muncul dari bibirmu ungkapan itu mas. Seolah ada keraguan yang menghalangi keberanian mas untuk mengungkapkan rasa cinta itu, apalagi niatan meminag Astuti pada bapak untuk menjadikan Tuti sebagai istrimu. Jujur mas Astuti  juga mempunyai perasaan yang sama, Tuti cinta mas Ahmad, Astuti  juga punya mimpi merajut kebahagiaan hidup bersama mas Ahmad bersama anak anak kita, namun itu sudah terlambat mas, terlambat...!" jawab Astuti  meluapkan kekecewaannya selama ini pada ku. Di iringi derai air matanya yang mengalir di sela-sela pipinya.
"Terlambat bagaimana, toh dek ? tanyaku penuh selidik . "Mas tidakkah kau lihat cincin yang kini bertahta dijari manis Tuti, aku berharap cincin ini adalah cincin ikatan cinta kita mas!, namun sayangnya cincin ini milik mas Danu seorang perwira polisi anak sahabat bapak, yang tempo hari melamar Tuti" jawabnya sembari terisak memandangi cincin yang ada dijari manisnya.
"Ini yang mas khawatirkan dek, tetentunya setiap orang tua ingin memberikan jodoh terbaik bagi putrinya, yang bisa mengayomi, menyayangi, memberikan kebahagiaan dan memberikan nafkah lahir batin yang cukup. Sementara mas ini apa dek...hanya seorang guru honorer." aku coba menjelaskan sembari menggenggam kedua tangnnya, namun dipotongnya dan tanganku dihempaskan olehnya.