Ahlussunnah Waljamâ’ah adalah istilah yang paling populer di dunia Islam, sekaligus amunisi paling mematikan untuk memberantas golongan lain yang menyimpang. Para ulama sepakat bahwa Ahlussunnah Waljamâ’ah adalah ajaran yang diwariskan Rasulullâh SAW kepada umatnya. Hanya saja Rasulullâh tidak menyebutkan nama dari suatu golongan tertentu yang termasuk Ahlussunnah Waljamâ’ah. Rasulullâh hanya menyebutkan indikasi dari golongan umatnya yang disinyalir sebagai golongan Ahlussunnah Waljamâ’ah dengan sebutan golongan yang selamat dari siksa Neraka.
Sejarah menceritakan pertentangan demi pertentangaan yang terjadi antara kaum muslimin yang terjadi sejak dahulu hingga saat ini. Mereka saling mengklaim dirinya sebagai pewaris dari ajaran Rasulullâh. Dalam konflik yang terjadi, vonis kafir dan sesat tak jarang terlontar dari masing-masing kelompok. Dan tidak jarang pula pertentangan pemikiran yang pada akhirnya berlanjut menjadi perselisihan fisik dan pertumpahan darah.
Tidak mudah mendefinisikan istilah Ahlussunnah Waljamâ’ah secara konkret. Karena memang Rasulullâh tidak menunjuk golongan tertentu. Untuk mendapatkan pemahaman yang konprehensif mengenai istilah ini, kita harus mengkajinya dari berbagai aspek, mulai dari Arti, sejarah dan perkembangan aliran tersebut.
Arti Istilah Ahlussunnah Waljamâ’ah
Secara etimologis istilah Ahlussunnah Waljamâ’ah terbentuk dari tiga kata; ahlu, as-Sunnah dan al-Jamâ’ah. Pertama, kata ahlu mempunyai makna keluarga, pengikut dan golongan. Kedua kata as-Sunnah secara kebahasaan mempunyai arti atthorîqoh (jalan atau perilaku), baik jalan itu benar ataupun keliru, diridhoi ataupun tidak. Sedangkan as-Sunnah secara terminologis mempunyai arti jalan yang ditempuh oleh Rasulullâh SAW dan para sahabat-sahabatnya yang selamat dari kesesatan dan hawa nafsu.
As-Sunnah menurut Imam Assyathibi ialah segala sesuatu yang dinukil dari Nabi SAW secara khusus dan tidak terdapat dalam al-Qur’an, tapi dinyatakan oleh Nabi SAW. Dengan demikian, posisi sunnah merupakan penjelasan al-Qur’an. Sunnah dengan pengertian ini, merupakan lawan dari bid’ah. Seseorang dikatakan Ahlussunnah kalau dia beramal dan berkeyakinan sebagaimana yang diajarkan Nabi SAW. Sebaliknya, seseorang disebut ahli bid’ah jika keyakinan atau amalnya bertentangan dengan ajaran Rasulullâh.
Selain kata sunnah disebutkan sebagai sesuatu yang dinukil dari Nabi, menurut Assyâtihiby kata sunnah juga digunakan untuk menyebut apa yang dilakukan oleh para sahabat Nabi baik yang ditemukan dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi atau tidak. Sebab apa yang mereka lakukan kemungkinan besar berdasarkan sunnah Nabi, atau berdasarkan ijtihad yang disepakati oleh mereka, karena kesepakatan di antara mereka merupakan ijmâ’.
Sedangkan kata ke tiga adalah al-Jamâ’ah. Kata ini secara etimologis mempunyai arti orang-orang yang memelihara kebersamaan dan kolektivitas dalam mencapai suatu tujuan. Al-Jamâ’ah adalah lawan dari kata firqoh, yaitu orang-orang yang bercerai berai dan memisahkan diri dari golongannya. Sedangkan secara terminologis, kata al-Jamâ’ah adalah mayoritas umat Islam.
Kata al-Jamâ’ah beberapa kali disabdakan oleh Rasulullâh dalam Hadis yang menyatakan bahwa umat Islam kelak akan terpecah menjadi 73 golongan, sebagaimana yang diterangkan pada Hadis Sunan Ibnu Majah 11/493 dan sebagaimana dijelaskana dalam kitab Mu’jamul Kabîr Litthobrônî 12/441.
Sedangkan dalam riwayat Attirmidzy, Hadis ini tidak menggunakan redaksi al-Jamâ’ah tapi menggunakan redaksi mâ ana ‘alaihi wa ashhâby (Sunan Attirmidzy 9/325).
Kata al-Jamâ’ah pada Hadis yang pertama jika dipadukan dengan Hadis kedua yang menggunakan mâ ana ‘alaihi wa ashhâby, maka akan membuahkan pengertian bahwa al-Jamâ’ah adalah golongan yang mengikuti Rasulullâh dan para sahabatnya. Akan tetapi memahami pengetian al-Jamâ’ah tidaklah sesederhana itu. Menurut Assyathibi untuk memehami pengertian al-Jamâ’ah harus mengakomodir banyak Hadis yang di dalamnya juga menyebutkan kata al-Jamâ’ah, seperti di antaranya pada Hadis Shohih Al Bukhhory 21/443. Yang diriwayatkan oleh Hasan bin Al-Rabi’ dari Hammad bin Zaid, dari Al-Ja’d Abi Utsman, dari Abi Raja’, dari Ibnu Abbas.
Sejarah Predikat Ahlussunnah Waljamâ’ah
Belum ditemukan riwayat shahîh yang secara sharîh menyatakan bahwa Rasulullâh SAW pernah menggunakan kata Ahlussunnah Waljamâ’ah.
Hadis Sunan Ibnu Majah 11/493 disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam al-Qoul al-Musaddad, Imam as-Syahrostany dalam al-Milal wa Annihal, juga Imam al-Ghozaly dalam Ihyâ’ Ulûmiddîn, akan tetapi, dalam kitab-kitab tersebut, Hadis ini tidak desebutkan bersama sanadnya, sehingga sulit menentukan sejauh mana kapasitas Hadis tersebut untuk bisa dijadikan sebagai pijakan.
Sementara itu, ada banyak Hadis bersanad yang mirip dengan Hadis tersebut, namun hanya menyebutkan kata al-Jamâ’ah, bukan Ahlussunnah Waljamâ’ah. Sebagaimana dalaam kitab Sunan Ibnu Majah (11/493), Sunan Abi Daud (12/196), dan Musnad Ahmad (25/68).
Karena tidak ditemukan riwayat yang shahîh secara langsung menyebutkan istilah Ahlussunnah Wahjamâ’ah, maka banyak kalangan yang menilai istilah tersebut muncul setelah masa Rasulullâh. Sebagai bukti, ada asumsi dari Ibnu Abbas ketika mentafsiri QS Ali Imron: 106, yang menegaskan “Adapun orang yang putih wajahnya adalah Ahlussunnah Waljamâ’ah”.
Ada sejarawan mengatakan bahwa istilah Ahlussunnah Waljamâ’ah baru digunakan pada abad ke tiga Hijriah. Abad ke tiga Hijriah adalah priode pasca Tabî’in atau priode Imam-imam mujtahid. Pada abad ini, pemikiran bid’ah sudah menjalar ke mana-mana, terutama paham bid’ah dari golongan Mu’tazilah. Al-Ma’mun adalah kholifah pertama yang menganut paham Mu’tazilah dan menjadikannya sebagai akidah resmi Negara. Dia memaksa rakyatnya untuk mengikuti paham Mu’tazilah.
Golongan Ahlussunnah Waljamâ’ah
Mengenai siapakah yang termasuk dari Alussunnah Waljamâ’ah, ulama masih berbeda pendapat. Syekh Muhammad az-Zabidy, dalam kitabnya yang berjudul Ithâfussâdah al-Muttaqîn mengatakan bahwa Alussunnah Waljamâ’ah meliputi empat golongan, yaitu golongan ahli Hadis, golongan Sufi, golongan pengikut Imam Al-Asy’ary, dan pengikut Imam Al-Maturidzy.
Sedangkan Thâhir bin Muhammad al-Isfirâyâny menisbatkan Alussunnah Waljamâ’ah kepada Ashhâbul Hadis, Ahlurra’yi, dan golongan Ahli Fiqh yang berbeda-beda dalam cabang-cabang hukum syari’ah namun tidak sampai terjadi saling mengkafirkan dan tidak terkungkung oleh fanatisme. Golongan inilah yang sempat disinggung oleh Rasulullâh dalam Hadisnya, “Perbedaan pendapat di antara umatku adalah rahmat”.
Senada dengan pendapat al-Isfirayany Abdul Qohir al-Baghdady menyebut Alussunnah Waljamâ’ah sebagai golongan Ahlurra’yi dan Ahlul Hadis. Adapun yang dimaksud Ahlurra’yi dan Ahlul Hadis oleh Al-Baghdady yaitu para ahli Fiqh, ahli Qirâ’ah, ahli Hadis dan para Mutakallimîn. Mereka sepakat atas akidah-akidah pokok tentang Keesahan Tuhan, Keadilan Tuhan, Sifat-sifat-Nya, kenabian dan kepemimpinan, serta keadaan setelah kematian, mulai dari hari pembalasan hingga keadaan Surga dan Neraka.
Adapun perbedaan yang terjadi di antara mereka bukan pada ranah perinsip, melainkan hanya berkisar pada masalah furû’iyah, seperti hukum halal dan haranya sesuatu yang tidak terdapat penjelasan langsung di dalam Nasshussyar’î. Namun perbedaan tersebut tidak sampai terjadi saling mengkafirkan satu sama lain.
Ad-Dahlawy menyatakan bahwa Alussunnah Waljamâ’ah adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada al-Qur’an dan sunnah Rasul serta mengikuti para sahabat dan tabi’in, baik dalam akidah maupun amaliah, meskipun mereka juga berbeda dalam masalah ijtihadiyah. Namun sekali lagi, mereka tidak terjebak dalam saling mengkafirkan.
Ibnu Taimiyah mengartikan Alussunnah Waljamâ’ah sebagai mayoritas golongan umat Islam. Menurutnya, barangsiapa yang bebicara dengan berlandaskan al-Qur’an, sunnah, dan ijma’, maka merekalah termasuk golongan Alussunnah Waljamâ’ah.
Berikutnya al-Jurjany menisbatkan Alussunnah Waljamâ’ah kepada golongan Ahlul Haqq atau golongan yang selalu menyandarkan dirinya kepada kebenaran menurut Allah SWT dengan dalil-dalil yang jelas. Sedangkan Ahlul Haqq menurut Imam Ibnu Hajar al-‘Asqolani adalah golongan ahli ilmu. Maksudnya adalah para mujtahid yang menjadi panutan umat dalam urusan agama.
Kesimpulan
Sampai saat ini, masih sulit menemukan titik terang tentang siapa sebenarnya penyandang predikat Ahlussunnah Waljama’ah. Mungkin hal ini dapat ditemukan dengan mengikuti perjalanan historis golongan ini sejak masa Rasulullâh sampai saat ini.
Namun dengan demikian terdapat kesimpulan bahwa golongan Ahlussunnah Waljama’ah adalah golongan yang berpegang teguh terhadap al-Qur’an, as-Sunnaah dan Ijma’ para mujtahid. Hanya saja terdapat perbedaan dalam menyematkan predikat Alussunnah Waljama’ah. Ada yang menyebutkan golongan al-Asy’ariyah dan al-Maturidziyah, ada pula yang menyematkannya pada ahli Hadis dan ra’yi yang sepakat dalam pokok-pokok akidah dan tidak saling mengkafirkan serta menyesatkan ketika terjadi perbedaan dalam permasalahan-permasalahan ijtihâdiy.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H