Mungkinkah ada demokrasi dalam dinasti politik? Saya sengaja mengawali tulisan dengan pertanyaan bernada skpetis bahkan mungkin sinis. Skeptisisme dan sinisme itu wajar adanya terutama ketika dihadapkan pada berbgai praktek politik yang merugikan hak pilih orang lain. Apalagi, sebagai bangsa, kita baru saja dipertontonkan secara nasional praktek politik Presiden Jokowi dalam kompetisi pilpres 2024 dimana putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka melaju sebagai kandidat cawapres dengan "fasilitas hukum" yang problematis secara etis. Akibatnya, terminologi "politik dinasti" menjadi ternoda, pejoratif, buruk, dan bahkan nista. Apakah secara teoritis dan praksis dinasti politik demikian adanya?
Secara historis, tumbuh berkembangnya dinasti politik selalu menjadi pro-kontra. Secara umum, dinasti politik dipandang berpotensi memicu penyalahgunaan kekuasaan. Namun di sisi lain juga berkembang pandangan bahwa adanya larangan bagi keluarga petahana atau penguasa untuk ikut serta dalam kontestasi politik merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan melanggar konstitusi warga negara. Maka, satu-satunya cara meletakkan politik dinasti dengan pemikiran kritis dan objektif dalam kerangka tujuan utama berpolitik, yaitu menempatkan kemaslahatan rakyat sebagai indikator utama. Politik demokrasi hendaknya berjalan dalam dua rel secara bersamaan: taat asas dan meraih substansinya. Kompetisi demokratik menhendaki meritokrasi, kapasitas, dan dukungan warga. Demokrasi tidak mengizinkan asal usul keturunan, nasab, darah sebagai jalan dan syarat dalam berkompetisi. Bahwa dalam prakteknya terdapat fakta-fakta keterunan dan keluarga tidak serta merta membatalkan konsep dasar demokrasi. Dan atau dalam prakteknya seringkali membawa mudharat politik, tidak serta merta menggugurkan hak politik seseorang.
Polemik tentang dinasti politik di Indonesia secara konstitusional telah diatasi oleh Mahkamah Konstitusi. Indonesia sempat melarang dinasti politik lewat Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU. Disebutkan pada Pasal 7 huruf r, calon pemimpin daerah dapat mengikuti suatu pemilihan apabila tidak mempunyai konflik kepentingan dengan petahana. Penjelasan di balik pasal tersebut adalah calon kepala daerah tidak boleh mempunyai konflik kepentingan dengan petahana, baik secara hubungan darah, ikatan perkawinan, atau garis keturunan tingkat lurus ke atas, bawah, maupun samping dengan petahana. Ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, dan menantu petahana baru dapat mencalonkan diri jika melewati satu kali masa jabatan, namun larangan ini dihapus oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 33/PUU-XIII/2015.
Pasal larangan dinasti politik yang dihapus MK berkaitan dengan majunya keluarga petahana dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Menurut Hakim MK Arief Hidayat, Pasal 7 huruf r bertentangan dengan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Arief  menyebutkan, pasal tersebut menimbulkan rumusan norma baru yang tidak dapat digunakan karena tidak memiliki kepastian hukum.
Dinasti Politik dalam Negara Demokrasi
Sejarah demokrasi di Indonesia belumlah lama apalagi jika dibandingkan dengan Amerika Serikat yang sudah berjalan ratusan tahun. Demokrasi di Barat lahir dan berkembang dalam latar belakang tradisi yang berbeda dengan Indonesia dengan latar belakang sistem kerajaan nusantara. Karenanya, menduplikasi secara bulat demokrasi Indonesia dengan model Barat menjadi ahistoris. Namun demikian, bukan berarti demokrasi Indonesia dikembalikan dengan model otoritariansme ala Orde Baru.
Dinasti politik pada dasarnya tidak dikenal dalam demokrasi, walaupun sejarah mencatat dalam negara-negara demokrasi modern fenomena dinasti politik tumbuh berkembang. Negara demokrasi menjunjung tinggi hak seluruh warga negara untuk memilih dan dipilih. Tidak dibenarkan jika mengatasnamakan dan konstitusi lantas kehidupan politik didominasi oleh sekelompok golongan tertentu, karena negara adalah milik bersama. Setiap warga negara berhak menduduki jabatan politik selama mendapat kepercayaan oleh rakyat. Proses pengawasan dan pembatasan yang berlaku selama ini hanya diserahkan kepada landasan etik terkait kepatutan dan kepantasan. Dalam suksesi kepemimpinan politik demokratik, sistem meritokrasi menjadi kata kunci. ia adalah sistem yang memberikan privilege kepada siapapun yang memiliki prestasi. Meritokrasi dianggap dapat mengikis sistem dinasti politik dan dianggap sebagai sistem yang adil dengan memberikan hak lebih kepada individu-individu yang berprestasi untuk menjadi pemimpin. Dalam kiatan ini, meskipun praktek dinasti politik memiliki potensi merusak demokrasi tetapi sejatinya bisa diterima dan tidak dipersoalkan selama dalam pelaksanaan sistem perekrutan dan pemilihan calon dalam kontestasi politik di Indonesia berjalan secara adil dan profesional.
"Keluarga Politik" sebagai realitas politik
Istilah "keluarga politik" tidaklah asing baik di Indonesia maupun di belahan dunia lainnya. Kita bisa menyebut yang besar dan populer dalam berbagai kajian politik dan demokrasi di dunia. Sejak zaman dahulu, keluarga-keluarga berpengaruh telah menggunakan kekuatan dan pengaruh mereka untuk mempertahankan kekuasaan di tangan mereka. Contoh paling jelas adalah dalam sistem monarki dimana kekuasaan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam satu garis keluarga. Contoh lain adalah Dinasti Han di China, Dinasti Mughal di India, dan Dinasti Bourbon di Prancis. Dalam konteks modern, dinasti politik sering kali terlihat dalam bentuk republik atau demokrasi. Meskipun sistem pemerintahan ini didasarkan pada prinsip-prinsip pemilihan umum dan keterwakilan rakyat, kenyataannya, kekuasaan masih bisa terkonsentrasi di tangan beberapa keluarga yang memiliki pengaruh besar. Contoh terkenal adalah keluarga Kennedy di Amerika Serikat, keluarga Bhutto di Pakistan, dan keluarga Gandhi di India. Fenomena keluarga politik yang terjadi di belahan dunia dengan demikian menjadi realitas politik yang tak terhindarkan. Sehingga persoalannya bukan pada pelarangan atau pembolehan. Melainkan---terutama bagi negara demokrasi---apakah praktek itu selalu melemahkan demokrasi ataukah akan sangat tergantung pada bagaimana menjalankannya.
Membaca "Keluarga Poltik" Cornelis di Kalimantan Barat
Membaca fenomena "keluarga politik" dalam kompetisi politik tidak harus "berkacamata kuda" yang dapat menimbulkan mono perspektif. Lebih jauh, pembacaan mono perspektif dapat terjebak pada makna yang bersifat politis daripada ilmiah. Apalagi, pembacaan itu ada dalam kondisi persaingan dan pertarungan politik pilkada yang sekarang sedang berlangsung. Maka, diantara cara membaca keterlibatan "keluarga politik" dalam kompetisi politik adalah dengan menggunakan metode kerja demokrasi yang secara teknis diatur dalam undang-undang dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Dari sisi prosedural, proses pencalonan seseorang telah datur oleh undang-undang dan PKPU. KPU sebagai lembaga negara yang independen tidak bisa diintervensi oleh siapapun. Partai politik dan gabungan partai politik adalah lembaga yang secara undang-undang diberikan kewenangan politik sebagai pengusung bakal calonn kepala daerah. Dalam pengusungan calon, setiap partai memiliki otoritas dan syarat-syarat tertentu dalam menentukan calon. Biasanya, partai politik akan mempertimbangkan faktor elektabilitas, kapasitas, dan rekam jejak. Bahwa ada kasus-kasus tertentu, biasanya tetap mempertimbngkan ukuran yang objektif. Contoh terbaru adalah tidak dicalonkannya Puan Maharani sebagai capres 2024 oleh PDIP karena alasan salah satu ukuran yang tidak terpenuhi: elektabilitas.
Kembali pada "keluarga politik' Cornelis dalam kompetisi pilkada di Kalbar tahun 2024. Tidak dapat dipungkiri, perjalanan sejarah kehidupan politik Drs. Cornelis, MH menjadi salah satu potrtet tersendiri bagi sejarah kepemimpinan politik di Kalbar. Karir politiknya dibangun dari angka nol. Ia sendiri dalam banyak diskusi dengan penulis tidak menyangka akan berada di puncak karir politik seperti sekarang. "Ini menjadi bagian dari anugerah Tuhan. Saya hanya bisa bersyukur dengan cara mengabdi pada rakyat. Dengan ada kekuasaan, saya punya kesempatan untuk membantu banyak orang". Pernyataannya tidak lagi normatif dan basa-basi. Dua kali menjadi Bupati Landak, dua kali menjadi Gubernur Kalbar, dan kini dua kali menjadi anggota DPR RI menjadi saksi bahwa ia dikehendaki rakyat Kalbar. Dan dalam karir politiknya, tidak pernah terdengar mempunyai masalah hukum. Artinya, pada dirinya sendiri, secara kinerja politik demokratik, ia elligible dalam pengertian memiliki kemampuan yang memungkinkan seseorang memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
Putri pertama Cornelis, Karolin Margret Natasa (KMN) yang biasa disebut Karol dalam perjalanan karir politiknya tidak menjauh dari teladan ayahnya. Karol terbukti bukan "kader karbitan". Meskipun ayahnya seorang politisi yang berpengaruh dalam kancah perpolitikan di Kalbar, ia berproses meniti karir politik di sebuah partai yang dikenal ketat dalam melakukan kaderisasi. Ia tumbuh menjadi autentik dalam meniti karir politiknya. Dan lagi-lagi, dalam politik demokratik, kekuasaan ada di tangan rakyat. Meskipun seseorang lahir dari rahim "orang besar" dan berpengaruh, jika rakyat tidak menghendaki, maka tetap saja ia akan menjadi "no budy" (bukan siapa-siapa).
Karolin dalam fase karir politiknya berjalan secara normal dalam koridor demokrasi kepartaian. Dan, dari sisi ukuran kapasitas dan elektabilitasnya telah diuji oleh rakyat dalam peraihan suara di DPR RI, Calon Gubernur Kalbar (2018), dan Bupati Landak (2017-2022). Sukses sebagai peraih suara terbanyak nasional (397.481 suara) pada Pemilu 2014 dan menjadi calon tunggal pada Pilkada Landak 2017 dengan perolehan 226.378 suara (96,62 persen). Dalam kompetisi, selalu ada kalah dan menang. Pertarungannya dalam Pilgub 2018, ia kalah dari pasangan Sutramidji-Ria Norsan.
Kini KMN akan maju kembali di Pilkada Landak 2024. Posisinya sebagai incumbent memiliki banyak kelebihan dibanding calon lainnya. Proses menjadi calon kepala daerah---meski sebagai anak Cornelis dan pejabat teras DPD PDIP---tetap saja mengikuti asas-asas yang berlaku, diantara yang utama adalah mendapat penugasan dari DPP PDIP. Mendapat tiket dari PDIP tentu melalui jalan yang tidak mudah. Dan jika mendapatkannya dipastikan melalui mekanisme internal partai yang ketat dan kompetitif.
Angeline Fremalco, adek kandung KMN, terpilih kembali menjadi anggota DPRD Provinsi Kalbar yang meraih suara tertinggi. Ia mencalonkan diri dari Dapil 5 Kalbar atau Landak, Angeline yang sekarang menjabat sebagai Wakil Sekretaris Bidang Eksternal DPD PDI Perjuangan Kalbar ini meraup 76.497 suara. Sama dengan kakaknya, KMN. Engel meniti karir politiknya dengan berjibaku di partai dengan mengandalkan basis suara di daerahnya sendiri.
Suami Angeline Fremalco tercatat sebagai Bupati Kapuas Hulu yang kini akan maju kembali dalam Pilkada 2024. Bupati dengan nama lengkap Fransiskus Diaan, S.H. (lahir 14 Agustus 1981) ini adalah anak menantu dari Cornelis. Peratrungannya merebut kursi Bupati di puncak kapuas juga tidak mudah. Seperti dalam peperangan, Meskipun Sis---begitu ia sering disapa---sebagai menantu Cornelis, untuk menduduki posisi orang nomor satu di Kapuas Hulu diperlukan "total football", siang-malam, hingga titik darah penghabisan. Lagi-lagi, pertempuran itu pada akhirnya rakyat yang memilih dan menentukan.
Menyehatkan "Trah Politik"
Fenomena keluaraga politik atau apapaun namanya, dalam banyak contoh, kuncinya terletak pada kedewasaan para aktor politik dan kematangan rakyat pemilih. Kedewassan politik dalam konteks demokrasi dapat dikembalikan pada asas-asas fundemntal seperti keadilan, kesetaraan, dan kejujuran. Lebih teknis, persaingan politik harus diletakkan dalam koridor undang-undang dan pemuliaan etika.Maka, sepanjang prosedur dan substansi demokrasi dapat terpenuhi, keterlibatan trah politik dalam berbagai kompetisi politik menjadi lumrah. Menjadi bermasalah justru jika terjadi penyalahgunaan kekuasaan untuk meloloskan keluarga politik dalam posisi-posisi jabatan politik terntentu.
Dalam perjalanan karir politik "Keluarga Cornelis", keterlibatan putri sulungnya, KMN, Angeline Fremalco, dan menantunya, Fransiskus Diaan, sejauh ini berjalan prosedural dengan pantauan publik yang baik. Artinya, keluarga ini tergolong sehat dan berintegritas dalam menjalankan tugas-tugas politiknya terutama yang berkiatan dengan kepentingan publik. Apalagi, dalam konteks Pilkada 2024, keluarga ini dan juga partainya, tidak dalam posisi memegang kekuasaan eksekutif baik di tingkat nasional, propinsi, muapun kabupaten. Maka, jika ada "serangan politik" terhadap keluarga Cornelis dengan kacamata tuduhan "dinasti politik", hampir dipastikan sebagai bagian dari pertarungan pilkada di Landak sebagai kampanye negatif (negative campaign).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI