Mohon tunggu...
abdul mukti
abdul mukti Mohon Tunggu... Dosen - dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

saya adalah peneliti dan penulis dibidang filsafat, pemikiran islam, politik dan sosial keagamaan. Aktif sebagai pembicara dan pengajar di berbagai kampus

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dinasti Politik dalam Demokrasi, Belajar dari "Keluarga Politik" Cornelis

23 Juni 2024   01:20 Diperbarui: 23 Juni 2024   01:20 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mungkinkah ada demokrasi dalam dinasti politik? Saya sengaja mengawali tulisan dengan pertanyaan bernada skpetis bahkan mungkin sinis. Skeptisisme dan sinisme itu wajar adanya terutama ketika dihadapkan pada berbgai praktek politik yang merugikan hak pilih orang lain. Apalagi, sebagai bangsa, kita baru saja dipertontonkan secara nasional praktek politik Presiden Jokowi dalam kompetisi pilpres 2024 dimana putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka melaju sebagai kandidat cawapres dengan "fasilitas hukum" yang problematis secara etis. Akibatnya, terminologi "politik dinasti" menjadi ternoda, pejoratif, buruk, dan bahkan nista. Apakah secara teoritis dan praksis dinasti politik demikian adanya?

Secara historis, tumbuh berkembangnya dinasti politik selalu menjadi pro-kontra. Secara umum, dinasti politik dipandang berpotensi memicu penyalahgunaan kekuasaan. Namun di sisi lain juga berkembang pandangan bahwa adanya larangan bagi keluarga petahana atau penguasa untuk ikut serta dalam kontestasi politik merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan melanggar konstitusi warga negara. Maka, satu-satunya cara meletakkan politik dinasti dengan pemikiran kritis dan objektif dalam kerangka tujuan utama berpolitik, yaitu menempatkan kemaslahatan rakyat sebagai indikator utama. Politik demokrasi hendaknya berjalan dalam dua rel secara bersamaan: taat asas dan meraih substansinya. Kompetisi demokratik menhendaki meritokrasi, kapasitas, dan dukungan warga. Demokrasi tidak mengizinkan asal usul keturunan, nasab, darah sebagai jalan dan syarat dalam berkompetisi. Bahwa dalam prakteknya terdapat fakta-fakta keterunan dan keluarga tidak serta merta membatalkan konsep dasar demokrasi. Dan atau dalam prakteknya seringkali membawa mudharat politik, tidak serta merta menggugurkan hak politik seseorang.

Polemik tentang dinasti politik di Indonesia secara konstitusional telah diatasi oleh Mahkamah Konstitusi. Indonesia sempat melarang dinasti politik lewat Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU. Disebutkan pada Pasal 7 huruf r, calon pemimpin daerah dapat mengikuti suatu pemilihan apabila tidak mempunyai konflik kepentingan dengan petahana. Penjelasan di balik pasal tersebut adalah calon kepala daerah tidak boleh mempunyai konflik kepentingan dengan petahana, baik secara hubungan darah, ikatan perkawinan, atau garis keturunan tingkat lurus ke atas, bawah, maupun samping dengan petahana. Ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, dan menantu petahana baru dapat mencalonkan diri jika melewati satu kali masa jabatan, namun larangan ini dihapus oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 33/PUU-XIII/2015.

Pasal larangan dinasti politik yang dihapus MK berkaitan dengan majunya keluarga petahana dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Menurut Hakim MK Arief Hidayat, Pasal 7 huruf r bertentangan dengan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Arief  menyebutkan, pasal tersebut menimbulkan rumusan norma baru yang tidak dapat digunakan karena tidak memiliki kepastian hukum.

Dinasti Politik dalam Negara Demokrasi

Sejarah demokrasi di Indonesia belumlah lama apalagi jika dibandingkan dengan Amerika Serikat yang sudah berjalan ratusan tahun. Demokrasi di Barat lahir dan berkembang dalam latar belakang tradisi yang berbeda dengan Indonesia dengan latar belakang sistem kerajaan nusantara. Karenanya, menduplikasi secara bulat demokrasi Indonesia dengan model Barat menjadi ahistoris. Namun demikian, bukan berarti demokrasi Indonesia dikembalikan dengan model otoritariansme ala Orde Baru.

Dinasti politik pada dasarnya tidak dikenal dalam demokrasi, walaupun sejarah mencatat dalam negara-negara demokrasi modern fenomena dinasti politik tumbuh berkembang. Negara demokrasi menjunjung tinggi hak seluruh warga negara untuk memilih dan dipilih. Tidak dibenarkan jika mengatasnamakan dan konstitusi lantas kehidupan politik didominasi oleh sekelompok golongan tertentu, karena negara adalah milik bersama. Setiap warga negara berhak menduduki jabatan politik selama mendapat kepercayaan oleh rakyat. Proses pengawasan dan pembatasan yang berlaku selama ini hanya diserahkan kepada landasan etik terkait kepatutan dan kepantasan. Dalam suksesi kepemimpinan politik demokratik, sistem meritokrasi menjadi kata kunci. ia adalah sistem yang memberikan privilege kepada siapapun yang memiliki prestasi. Meritokrasi dianggap dapat mengikis sistem dinasti politik dan dianggap sebagai sistem yang adil dengan memberikan hak lebih kepada individu-individu yang berprestasi untuk menjadi pemimpin. Dalam kiatan ini, meskipun praktek dinasti politik memiliki potensi merusak demokrasi tetapi sejatinya bisa diterima dan tidak dipersoalkan selama dalam pelaksanaan sistem perekrutan dan pemilihan calon dalam kontestasi politik di Indonesia berjalan secara adil dan profesional.

"Keluarga Politik" sebagai realitas politik

Istilah "keluarga politik" tidaklah asing baik di Indonesia maupun di belahan dunia lainnya. Kita bisa menyebut yang besar dan populer dalam berbagai kajian politik dan demokrasi di dunia. Sejak zaman dahulu, keluarga-keluarga berpengaruh telah menggunakan kekuatan dan pengaruh mereka untuk mempertahankan kekuasaan di tangan mereka. Contoh paling jelas adalah dalam sistem monarki dimana kekuasaan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam satu garis keluarga. Contoh lain adalah Dinasti Han di China, Dinasti Mughal di India, dan Dinasti Bourbon di Prancis. Dalam konteks modern, dinasti politik sering kali terlihat dalam bentuk republik atau demokrasi. Meskipun sistem pemerintahan ini didasarkan pada prinsip-prinsip pemilihan umum dan keterwakilan rakyat, kenyataannya, kekuasaan masih bisa terkonsentrasi di tangan beberapa keluarga yang memiliki pengaruh besar. Contoh terkenal adalah keluarga Kennedy di Amerika Serikat, keluarga Bhutto di Pakistan, dan keluarga Gandhi di India. Fenomena keluarga politik yang terjadi di belahan dunia dengan demikian menjadi realitas politik yang tak terhindarkan. Sehingga persoalannya bukan pada pelarangan atau pembolehan. Melainkan---terutama bagi negara demokrasi---apakah praktek itu selalu melemahkan demokrasi ataukah akan sangat tergantung pada bagaimana menjalankannya.

Membaca "Keluarga Poltik" Cornelis di Kalimantan Barat

Membaca fenomena "keluarga politik" dalam kompetisi politik tidak harus "berkacamata kuda" yang dapat menimbulkan mono perspektif. Lebih jauh, pembacaan mono perspektif dapat terjebak pada makna yang bersifat politis daripada ilmiah. Apalagi, pembacaan itu ada dalam kondisi persaingan dan pertarungan politik pilkada yang sekarang sedang berlangsung. Maka, diantara cara membaca keterlibatan "keluarga politik" dalam kompetisi politik adalah dengan menggunakan metode kerja demokrasi yang secara teknis diatur dalam undang-undang dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Dari sisi prosedural, proses pencalonan seseorang telah datur oleh undang-undang dan PKPU. KPU sebagai lembaga negara yang independen tidak bisa diintervensi oleh siapapun. Partai politik dan gabungan partai politik adalah lembaga yang secara undang-undang diberikan kewenangan politik sebagai pengusung bakal calonn kepala daerah. Dalam pengusungan calon, setiap partai memiliki otoritas dan syarat-syarat tertentu dalam menentukan calon. Biasanya, partai politik akan mempertimbangkan faktor elektabilitas, kapasitas, dan rekam jejak. Bahwa ada kasus-kasus tertentu, biasanya tetap mempertimbngkan ukuran yang objektif. Contoh terbaru adalah tidak dicalonkannya Puan Maharani sebagai capres 2024 oleh PDIP karena alasan salah satu ukuran yang tidak terpenuhi: elektabilitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun