Di tepi Sungai Chao Phraya aku duduk dan menunggu. Aku menyaksikan riak-riak airnya terhempas ke dermaga dan menggoncang-goncangkan perahu kecil. Penantianku memang terkesan bodoh. Mana mungkin aku menemukan kekasihku diantara ratusan perahu yang bahkan tulisannya juga tak bisa kukenali? Disinilah aku menunggu dan tak berhenti mengamati sampai siang ditelan gelap. Di kejauhan terlihat lampu-lampu bianglala Asiatique Riverfront menyala. Muda-mudi tertawa histeris. Aku hanya disini mengamati bahwa kekasihku akan lewat. Saat akhirnya tiba tengah malam, dermaga sudah mau ditutup dan seorang petugas memintaku pulang. Aku tidak akan pulang sebelum menemukan kekasihku, kataku. Dia pun membiarkanku disitu. Sampai pagi.
Esok harinya, aku melanjutkan pengamatanku. Aku beranggapan, bisa jadi kemarin-kemarin kapalnya kehabisan solar sehingga baru berlayar hari ini. Ya, aku beranggapan seperti itu untuk menyemangati diriku sendiri, hingga akhirnya malam pun tiba dan sinar bulan kembali memantulkan cahayanya di riak-riak Sungai Chao Phraya. Di hari ketiga, aku mulai menangis. Aku menangis disertai penyesalan, kenapa aku tidak memberikan keputusan kala itu. Aku mulai tersedu-sedu dan terus meratap, menyesal sejadi-jadinya. Di tepi Sungai Chao Phraya, aku benar-benar duduk dan menangis. Aku menangisi kekasihku hingga akhirnya air mataku habis.Â
Aku akhirnya memutuskan untuk mengarungi sungai itu, mengambil rute terpendek ke tepian sebelah di Wat Arun. Aku melanjutkan tangisanku di sisi tepian ini. Duduk dan menangis. Lalu seseorang meraba pundakku, kukira itu bhiksu yang baru keluar dari Wat Arun. Tapi, ketika aku menoleh, dia adalah Marco. Tidak banyak yang diucapkannya. Dia hanya berkata,"Aku sudah tahu keputusanmu."
Bekasi, 04 Desember 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H