"Lagipula selama ini, aku tidak terlalu terikat dengan agama tertentu"
Aku tidak sanggup berkata-kata lagi. Mematung.
"Pergilah dulu tuntaskan sekali pelayaranmu, baru kita bahas hal ini lagi." akhirnya aku berbicara.
"Tapi, apa keputusanmu, Basse?" desak Marco.
Aku tidak berani mengiyakan, karena aku tahu konsekuensinya. Dia sudah terlalu baik padaku selama ini. Aku tidak tahu jika itulah juga yang menjadi awal penyesalanku.
Selanjutnya dia berbicara mengenai pelayarannya. Dia sekarang ganti kapal. Kali ini membawa tugboat untuk batubara. Kemungkinan kalau tidak ke menyisiri Sungai Mekong, dia akan ke Chao Phraya. Atau di sekitaran Sungai Musi dan Mahakam jika masih di dalam negeri. Itu yang kuingat jelas. Itulah yang kuingat dari pesannya bahwa jika keadaan mendesak, dalam hal misalnya saya mau mengutarakan keputusanku, aku bisa mendatangi tempat itu. Itu sebenarnya penanda bahwa dia sedang kesal. Aku hanya berpikiran, kau pasti kembali lagi ke tempat ini, seperti yang lalu-lalu, dan untuk apa juga aku harus mencari-cari ke tempat-tempat yang disebutkan tadi hanya untuk mengatakan aku menerima pinangannya.
Sore itu Marco pergi. Aku melihatnya menuju dermaga, mengenakan jins belel yang belepotan oli. Dia tidak menoleh, tapi aku yakin dia mengintipku dibalik kaca riben kapalnya. Aku tahu. Aku merasakannya. Dia membawa separuh jiwaku. Saat tugboat-nya berlabuh menjauhi dermaga, hatiku remuk.
Empat bulan, lima bulan, sampai delapan bulan, Marco belum muncul. Kadang dia mengirimiku gambar-gambar tempat yang kapalnya singgahi. Kali ini tidak ada. Dia selalu berganti-ganti nomor telepon, alasannya supaya tidak tahu bahwa yang menelpon adalah dia. Kejutan buatku, katanya. Tapi kali ini tidak ada. Firasatku mulai macam-macam. Aku memutuskan berbicara dengan orang-orang kapal, jaringan yang kukenal selama ini. Seseorang berujar bahwa terakhir kali melihat Marco dari Batam menuju Bangkok. Kapal tugboat Eve Gloria. Dia pasti menempu rute Chao Phraya, ujar orang tersebut.
Di bulan ke sepuluh kepergian Marco, kegelisahanku tidak bisa lagi dibendung. Aku meluapkan hari-hariku menunggu di tepi dermaga Makassar. Sesekali aku bergeser ke selatan di Pantai Losari, menyediri dalam keriuhan muda-mudi, lalu menerka-nerka apakah lampu kapal Marco yang menyala di kejauhan? Jika kapal tersebut sudah cukup dekat untuk dikenali, aku memutuskan sendiri bahwa itu bukanlah kapal Marco-ku. Saat itulah aku menangis sejadi-jadinya. Seseorang lalu menyarankanku agar mencari Marco. Aku harus mencari dimana? Di Chao Phraya? Di mana pula tempat itu?batinku.
***
Perjalananku ke Bangkok adalah penerbangan pertamaku di dunia. Aku terbang terlebih dahulu ke Jakarta, ganti pesawat menuju Kuala Lumpur, kemudian ke Bangkok. Siapapun di Bangkok, pasti tahu dimana Chao Phraya berada, dan disanalah aku meminta diantar oleh sopir taksi sesaat setelah mendarat di Dong Mueang. Dan disinilah aku berada sekarang. Bersama tas jinjing mengamati lalu lalang kapal penumpang dan kapal barang: mana diantara kapal-kapal itu yang bertuliskan "Eve Gloria".