Mohon tunggu...
abdul muid badrun
abdul muid badrun Mohon Tunggu... -

Pembelajar, Penggagas #OneDayOneNote, #OneDayOneQuote, Dosen, Bankir Syariah, Pembicara Publik, Motivator, Sedang Mendalami "Ilmu Service dan Branding", Gost Writer. Untuk Berkomunikasi: Email: abdulmuidbadrun@gmail.com FB; Abdul Muid Badrun TW: @abdulmuidbadrun Insta: abdul muid badrun

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Yuk Jadi Orangtua Shalih

28 Juni 2016   15:50 Diperbarui: 28 Juni 2016   16:02 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

YUK, JADI ORANGTUA SHALEH

Oleh: Abdul Muid Badrun*

Mengapa harus jadi orangtua shaleh? Ini pertanyaan manarik. Karena, pola asuh anak zaman dulu dengan zaman sekarang sangat berbeda. Mari kita cek sama-sama. Era tahun 1980-1990-an, membiarkan anak keluar rumah sendiri, orangtua tidak akan khawatir. Karena lingkungan aman. Membiarkan anak nonton TV sendirian pun juga aman, karena acara-acara TV-nya tidak seperti sekarang. Ayo, bandingkan dengan kondisi sekarang. Anak keluar rumah atau di rumah sendiri pun kita khawatir dan merasa terancam. Apalagi ditambah dengan pemberitaan di TV terkait penculikan dan kekerasan anak yang kian marak. Khawatir gak? Tentu. Jangan-jangan akan diculik, jangan-jangan tidak pulang ke rumah. Jangan-jangan dan jangan-jangan. Jangankan keluar rumah, anak kita biarkan sendirian di rumah pun kita khawatir karena pengaruh dan bahaya gadget. Semua informasi masuk dari benda ajaib itu. Sehingga, wajar kalau kita khawatir.      

Lalu, acara dan tayangan TV tahun 1980-1990-an awal tidak ada yang berbahaya. Mana ada bahayanya kalau anak kita biarkan sendirian nonton acara "klompencapir" misalnya, gak ada kan? Coba lihat sekarang, acara TV banyak yang meracuni pikiran anak-anak. Membuat sugesti anak dalam dunia impian kemewahan sementara orangtua tidak mampu. Jika kita nonton berita pun, yang ada khawatir, resah, gelisah. Karena berita-berita kekerasan, kriminalitas, pembunuhan anak, setiap hari menyapa keluarga kita. Inilah sebagian alasan, mengapa kita ini harus jadi orangtua saleh.

Jangan menuntut anak jadi shaleh, jika kita orangtuanya tidak shaleh dulu. Bagaimana caranya menjadi orangtua shaleh? Ada dua kata kunci. Pertama, urus (asuh). Kedua, tegas. Maksudnya, urus anak Anda berdua (ayah dan ibu) dengan sebaik-baiknya. Jangan dibiarkan anak diserahkan hanya pada ibunya (istri) saja, apalagi kepada pembantu alias baby sitter. Ingat, lingkungan dan informasi saat ini sangat berbeda dengan era 1980-an. Berbeda tahunnya tentu berbeda cara mengasuhnya.

Membuatnya saja berdua, masak setelah anak lahir diserahkan pengasuhannya hanya kepada istri saja. Tidak adil kan. Nah, di sinilah kita orangtua harus menerapkan prinsip "1821 tanpa gadget, hp, tv, dan kompor". Kesibukan orangtua zaman sekarang harus diimbangi dengan mengurus anak minimal setiap jam 6-9 malam bersama anak. Matikan internet, tv, hp, dan kompor (masak). Ajak anak pada jam itu, bermain, belajar dan berbicara alias ngobrol bersama anak. Hasilnya akan luar biasa. Cobalah!

Apa akibatnya kalau kita menerapkan prinsip "1821 stop gadget, hp, tv dan kompor"? Ayo, kita terapkan bersama. Yang sudah menerapkan lanjutkan. Yang belum, jangan sampai menyesal di kemudian dan anak akan semakin liar dan tak karuan (sulit diatur). Ingat, zaman sudah semakin sophisticated. Sudah semakin rusak. Lingkungan sudah semakin kotor dan tidak sehat. Ancaman pada anak-anak kita sudah kian mendekat. Semuanya bisa terjadi kapan saja dan di mana saja pada anak-anak kita, jika kita (masih) tidak mau mengurusnya dengan benar. Apa yang dilakukan orangtua pada jam 6-9 malam? Bermain, belajar, berbicara dengan anak.

Sudah bukan rahasia lagi, dunia anak adalah dunia bermain. Kita orangtuanya sudah seharian full bekerja dari pagi sampai sore, minimal 9-10 jam kita tinggalkan anak. Kita serahkan anak kepada sekolahan, day care, dan macam-macamnya. Bagi ibu yang tidak bekerja di luar rumah, terkadang kecapean. Bahkan, mungkin malah sibuk dengan gadget-nya masing-masing. Anak dibiarkan main sendiri. Kurang peduli. Kurang kontrol. Sehingga, meskipun ibu di rumah, malah sibuk dengan online business-nya, online shopping-nya dan masih banyak lagi yang tidak "touching" dengan anak. Inilah potret ibu-ibu muda zaman sekarang.

Benar di rumah, tapi sibuk berjualan online. Di rumah iya, tapi ngerumpi bersama ibu-ibu komplek perumahan. Anak dibiarkan begitu saja. Tak ada keseimbangan. Akibatnya, anak menjadi kurang peduli juga sama orangtuanya. Anak tidak akrab dengan bapak ibunya, tapi malah akrab dengan gadgetnya, tv-nya. Stop! Setelah membaca tulisan ini, ubah sikap Anda dengan menemani anak bermain. Apa saja. Ajak anak berbicara alias ngobrol. Jangan biarkan anak-anak kita diam. Berbahaya!

Karena, menurut penelitian, anak yang pendiam lebih berbahaya dibanding anak yang bisa (pandai) bicara, mengungkapkan apa saja. Buktikan kalau tidak percaya. Ini riset. Ilmiah dan sudah banyak buktinya. Jadi, kalau anak bapak ibu itu banyak diamnya, boleh jadi kita orangtuanya tidak pernah mengajaknya ngobrol. Ayo, ngobrol dengan anak! Apa kesulitan di sekolahnya, bagaimana teman-temannya, dan masih banyak lagi yang bisa jadi tema ngobrol bersama anak. Harus dilatih. Mulai sekarang. Karena kalau tidak dilatih, sampai dewasa pun anak akan jadi pendiam.

Sumanto dan Ryan sang pemakan manusia itu buktinya. Mereka berdua ternyata sejak kecil pendiam meski ia baik. Kalau anak Anda diam, jangan dibiarkan. Ajak anak ngobrol, latih dia berbicara pada jam 6-9 malam. Temani dia. Gunakan kesempatan itu. Agar, anak-anak Anda tidak berbahaya seperti Sumanto dan Ryan. Masih mau membiarkan anak diam? Masih mau menggadaikan anak dengan kesibukan pekerjaan? Kalau tidak mau, lakukan bersama anak Anda pada pukul 6-9 malam: bermain, belajar dan berbicara bersama mereka. Jangan dibalik ya. Membiarkan anak bermain, belajar dan berbicara sendiri, kita orangtuanya malah asyik dengan "dzikir whatsapp, dzikir bbm". Memalukan sekaligus memilukan dan jangan diteruskan! Stop mulai sekarang!

Apakah Anda sudah menerapkan prinsip "1821 tanpa gadget, hp, tv dan kompor" di rumah Anda masing-masing para orangtua Indonesia? Jika belum, lakukan saat ini juga ketika Anda membaca tulisan ini. Jangan sampai Anda menyesal tak berguna dan sia-sia. Bukankah anak adalah amanah yang wajib kita urus dengan sebaik-baiknya? Ini pula bisa diterapkan sebagai solusi betapa anak-anak zaman sekarang makin berani sama orangtuanya dan tidak hormat sama sekali.

 Anak tega membunuh orangtua karena minta uang jajan tidak diberikan. Anak berani membentak, memukul, menendang orangtuanya ketika minta dibelikan motor tidak diberikan. Dan masih banyak lagi cerita pilu dan malu terjadi di negeri yang oleh orang Barat disebut negeri santun dan murah senyum ini. Karena tidak ada jaminan masa depan bangsa ini tetap santun dan murah senyum, jika anak-anak kita penerusnya tidak diurus dengan baik dan benar.

Bagaimana dengan prinsip kedua, tegas. Bagi kita orangtua, memang suka tidak tegas pada anak. Misalnya, kita ke mall, anak minta es krim, padahal sebelumnya ketika anak makan es krim, akibatnya anak sakit radang tenggorokan. Anak merengek, menangis, nendangkan kakinya ke lantai, bahkan sampai teriak-teriak sampai kita bapak ibunya malu dilihat banyak orang. Apa solusinya? Angkat anak kita dan masukkan ke mobil, buka jendelanya sedikit dan kunci dari luar. Tunggu sampai 5 menit. Anak pasti akan jera dan tahu ibu bapaknya bersikap tegas. Ini pendidikan anak.

Jika karena anak merengek kita berikan, maka dalam hati anak akan bilang "horeee…mudah juga minta sama orangtua, hanya dengan merengek dan menangis". Itulah yang dalam ilmu parenting disebut "hukum kekekalan ikhtiar". Artinya, anak akan terus-menerus meminta dengan berbagai cara sampai orangtuanya mengabulkannya. Ketegasan sikap orangtua ini penting agar anak tahu orangtuanya bertindak benar dan untuk dia juga akhirnya. Dalam konteks ketegasan ini, di rumah kita perlu membuat "SOP (standart operating prosedure) Keluarga". SOP ini dibuat bersama anak ketika menerapkan prinsip 1821. Bermusyawarah bersama anak. Misalnya, “SOP Mandi”. Buatlah setiap hari, masing-masing setiap anak boleh mandi di kamar mandi A, bergantian dan bergiliran. Tujuannya, agar tidak berebutan. “SOP Duduk di Mobil”, misalnya. Kadang anak-anak kita suka berebut duduk di depan bersama ayahnya. Nah, kita buat hari senin, jadwalnya anak A, selasa jadwalnya anak B. Maka hari senin yang berhak duduk di kursi depan ya anak A. Jika anak B merengek meminta duduk di depan harus atas ijin anak A. Jika anak A tidak ijinkan, maka kita orangtuanya harus tegas menegakkan aturan SOP itu. Jangan pilih kasih. Berbahaya akibatnya.

Nabi Ibrahim saja ketika mendapat wahyu diminta Allah membunuh anaknya Ismail, dengan bahasa bertanya dulu kepada anak. Bukan langsung "ujug-ujug" (tiba-tiba, red) membunuh Ismail begitu saja (baca kisahnya di Q.S. As-Shaffat 102). Inilah keagungan Islam. Inilah bukti bahwa kita orangtua, diminta tegas kepada anak-anak kita. Diminta bertanya dulu kepada anak-anak kita. Lalu apa saja yang boleh dan apa saja yang tidak boleh alias batasan-batasan tegas itu. Bagaimana kalau orangtua marah, bolehkah? Apa saja marah yang boleh dan marah yang tidak boleh?

Sebelum saya menjelaskan tentang marah yang boleh dan marah yang tidak boleh (batasan marah), saya ingin bertanya dulu kepada Anda para orangtua. Bagi Anda, anak itu anugrah atau beban? Anak itu banyak memberi atau meminta?    

Yang perlu saya sampaikan di sini, anak itu fitrah (suci). Kitalah orangtua yang membuat kesuciannya itu tetap terjaga atau bahkan kita "sengaja" merusaknya. Baik sadar atau tidak. Prinsip menjaga kesuciannya dengan mengurusnya (mengasuhnya) dan tega+s (tegas dengan bersikap tega). Menurut survay, yang sering tidak tega pada anak itu ibunya.

Nah, di sinilah perlunya ayah dan ibu seiya sekata. Inilah tantangannya. Jangan sampai di depan anak, ayah dan ibu berbeda pendapat. Akibatnya, anak tidak percaya lagi pada kita orangtuanya. Mengurusnya adalah dengan menyediakan waktu untuk anak. Jangan sampai, anak kita merasa menjadi "yatim piatu", karena kita orangtunya hidup dan ada namun tak mau mengurusnya dengan baik. Anak tidak merasa nyaman dengan kita orangtuanya. Punya orangtua namun tidak merasakan kehadiran sebagai orangtua. Tidak akrab. Tidak diajak ngobrol. Rumah seperti "kuburan". Hidup namun sejatinya "mati" bagi anak-anak. Mau gak? Tentu tidak.

Sebagai orangtua, marah itu wajar dan boleh. Namun, harus tepat waktunya dan bentuknya. Karena, salah meletakkannya sama saja kita sudah "melukai" hati anak kita dan ini sangat berbahaya. Karena akan membekas sampai ia dewasa. Ada 4 (empat) marah yang tidak boleh. Pertama, memaki. Kedua, membentak. Ketiga, menyakiti tubuh. Keempat, merusak. Keempat-empatnya sudah bisa dipahami kan? Marah yang boleh dengan (bahasa saya) "memukul indah", hanya untuk masalah sholat. Selain sholat, tidak diperbolehkan. Ini sesuai ajaran Nabi, "Pukullah (memukul yang tidak melukai) anak-anakmu ketika umur 10 tahun jika belum menjalankan sholat". Jadi, Anda para orangtua mulai saat ini sudah tahu bagaimana marah yang tidak boleh dan marah yang boleh. Lakukan perubahan mulai hari ini, setelah membaca tulisan ini.

Mengapa harus marah? Karena, marah adalah manusiawi dan setiap orangtua boleh marah. Namun, kemarahan itu harus kita arahkan untuk mendidik anak-anak kita agar anak patuh dan taat pada SOP yang sudah disepakati sejak awal. Inilah seninya menjadi orangtua. Terkadang, karena capek bekerja, kita suka marah yang tidak jelas. Anak jadi korbannya. Terkadang karena "marah" sama suami (dan istri takut), lalu meluapkannya kepada anak. Ini cara-cara jahiliyah (bodoh) dan stop jangan lakukan hal lagi mulai sekarang. Tips sederhananya, kalau Anda marah karena pekerjaan atau karena tidak suka dengan sikap suami misalnya, masuk ke kamar dan kunci. Luapkan dan tumpahkan di kamar. Jangan sampai anak tahu. Setelah 10-15 menit, berwudhulah.

Di sisi lain, karena perubahan zaman, kita orangtua sering membiarkan anak bermain gadget. Bahkan, sengaja membelikannya dengan alasan untuk komunikasi. Apa bahaya gadget bagi masa depan anak? Lalu, mengapa anak sebelum umur 12 tahun tidak boleh berkompetisi alias ikut-ikut lomba? Mengapa orangtua harus membebaskan hidup anaknya dan apa batasan-batasannya? Apa akibatnya kalau orangtua sedikit-sedikit khawatir, sedikit-sedikit khawatir atas tindakan anak? Yang pasti, anak akan semakin manja dan takut berbuat sendiri. Mental anak akan ciut. Tidak PD (percaya diri) ketika berinteraksi dengan oang lain.

Apakah ini yang Anda mau wahai para orangtua? Tentu tidak. Oleh karenanya, bebaskanlah anak untuk bersikap, bertindak, berprilaku, bermain, bertingkah, berinteraksi sepanjang tidak berlebihan. Syaratnya ada 3 (tiga), pertama, tidak membahayakan si anak. Kedua, tidak merugikan orang lain. Ketiga, tidak melanggar hukum agama atau negara. Nah, selama tidak terkait dengan ketiga hal tersebut, maka tidak ada alasan orangtua untuk tidak membebaskan anak. Biarkan anak bebas, selama tidak berlebihan dengan 3 (tiga) syarat di atas. Jika pun dilarang, pastikan yang dilarang itu bukan aktivitasnya tetapi berlebihannya.

Selain itu, orangtua sering menganggap anak harus up to date (mengikuti perkembangam zaman). Kemudian, anak dibelikan gadget agar tidak ketinggalan dengan anak-anak zaman sekarang. Sadar atau tidak, kita membelikan gadget selain untuk komunikasi, mengawasi, juga agar anak tidak merepotkan orangtua. Cara berpikir inilah yang keliru. Anak boleh pakai gadget tapi syaratnya harus sudah berumur 17 tahun. Sebelum umur itu, pakailah handphone biasa, yang bukan android alias tidak bisa dipakai internet.

Mengapa? Karena kalau anak-anak kita belum berusia 17 tahun sudah dibelikan gadget, anak akan lebih menyukai gadget dibanding belajar dan bermain bersama orantuanya. Lahirlah apa yang disebut generasi BLAST. Apa itu? Boring (anak cenderung gampang bosan pada apapun juga), Lonely (anak cenderung menyendiri, tak mau berinteraksi dengan orang lain. Asyik bermain dengan gadgetnya). Angry (anak cenderung suka marah-marah tidak jelas masalahnya. Sedikit-sedikit marah. Dipinjam gadget sama adiknya marah, lupa menaruh gadgetnya marah, dinasihati marah, dan lain sebagainya). Stress (anak tertekan karena tidak terbiasa berinteraksi dan bermain dengan lingkungan sekitarnya).

Sehingga, ketika diminta tampil di panggung misalnya, anak jadi stress. Kurang bisa bersosialisasi). Tired (anak gampang lelah. Spirit untuk maju tidak ada. Bahkan yang berbahaya anak tidak punya motivasi untuk berprestasi). Apakah 5 (lima) hal itu kita inginkan terjadi pada anak-anak kita? Tentu tidak. Makanya, jangan berikan gadget pada anak di bawah usia 17 tahun. Ini prinsip. Mengapa harus 17 tahun?

Karena menurut riset, otak anak sebelum 17 tahun itu masih belum dewasa untuk menerima rangsangan yang sifatnya tidak konkret. Mengkhayal tidak jelas. Kita bisa lihat akibatnya sekarang. Banyak anak-anak mendapat kekerasan, diperkosa, menyukai gambar porno, bermain games kekerasan dan lain sebagainya itu akibat kita sebagai orangtuanya membelikan anak gadget. Bahkan, dengan alasan tidak merepotkan dan tidak ketinggalan zaman, kita orangtua ikut "meracuni" otak anak kita dengan bahaya gadget sebelum waktunya. Hentikan! Jangan lakukan itu pada anak-anak kita. Bahaya akibatnya! Bagaimana membentuk anak disiplin, terutama terkait dengan keuangan. Bagaimana pula resep menjadi orangtua shaleh?

 Masalah kita orangtua saat ini adalah kurang memahami ilmunya. Ilmu mengasuh anak. Sehingga, mengasuh anak tanpa ilmu, bahaya akibatnya. Kita suka bilang, "Mengasuh ya mengasuh saja, kan ada baby sitter." Pikiran ini sungguh sangat disayangkan. Karena mengasuh anak, tidak sesederhana yang dibayangkan. Ilmu mengasuh anak inilah yang semestinya dipahami dulu sebelum melangkah ke pernikahan. Akibatnya, kita sering menjumpai banyak anak merasa "yatim piatu" (tidak merasakan kehadiran orangtuanya) di rumahnya.

Inilah yang dipelajari oleh dunia industri hiburan di televisi. Anak lebih akrab dengan TV dibanding orangtuanya. Anak lebih menyukai nonton TV, main games dibanding bermain bersama ayah ibunya. Karena, masa depan bangsa ini sangat tergantung pada anak-anak kita. Maka, bekali anak dengan bekal gizi ilmu yang sudah kita tanamkan pada mereka sejak kecil. Atau jangan-jangan kita "sengaja" abai karena disibukkan dengan pekerjaan kantor.

Ada pertanyaan, bagaimana soal orangtua yang menitipkan uang kepada anaknya ketika sedang kerja? Atau menyuruh anaknya beli makanan? Menitipkan uang kepada anak boleh, hanya ketika anak berusia di atas 7 tahun. Jika masih di bawah 7 tahun, tidak diperbolehkan. Kalau minta beli makanan, temani dia dan jangan menyuruh dia beli sendiri. Nah, untuk anak berusia di atas 7 tahun (sudah SD), biasakan memberi uang saku untuk satu minggu misalnya. Lakukan cara ini. Agar, anak mulai latihan mengelola uang. Misalkan, 1 anak seminggu dikasih uang saku Rp. 50.000. "Paksa" anak agar mengerti uang saku itu untuk apa. Jika habis sebelum 1 minggu jangan diberi lagi, meski dia merengek dan menangis minta uang lagi misalnya. Orangtua harus tega+s. Tidak boleh kasihan. Karena ini pendidikan keuangan untuk masa depan anak. Agar anak, memahami pengelolaan uang dengan disiplin. Dilarang pula anak menitipkan uang sakunya ke orangtua. Mengapa? Karena, anak tidak berlatih mandiri. Ini berbahaya. Anak akan semakin tergantung pada orangtuanya ketika butuh uang. Padahal orangtua bukan "mesin ATM" bagi anak.

Di sisi lain, kita sering menjumpai kasus orangtua berkata kotor depan anak? Hal ini tidak diperbolehkan. Mengapa? Karena, memori anak akan merekam kata-kata kotor itu berasal dari orantuanya. Kita tidak mau kan, anak kita bicara kotor hasil produksi dari kita sendiri orangtuanya. Bicaralah baik depan anak. Stop bicara kotor atau negatif depan anak. Kalimat wajib yang mesti dibiasakan di rumah ada 3 (tiga): 1. Terima kasih. 2. (minta) Tolong. 3. (mohon) Maaf. Saya singkat dengan TTM. Ayo, para orangtua, biasakan mengucapkan ketiga kata itu ketika berinteraksi dengan anak. Kalau pinjam barang milik anak, ijin dulu pada anak. Meski kita orangtua yang membelikannya. Kalau anak berprestasi misalnya, beri penghargaan, beri pengakuan agar percaya diri anak meningkat. Cara-cara sederhana ini sangat penting dan akan berdampak luar biasa pada tumbuh kembang anak.

Karena itulah, wahai para orangtua di Indonesia. Ciptakan suasana akrab dalam keluarga. Anak tetap anak. Dia berhak atas hidupnya. Kita orangtua, wajib membekali dan menyiapkan hidupnya agar ia bisa hidup di masanya nanti. Inilah bukti nyata pentingnya peranan keluarga dalam pendidikan anak. Jangan menuntut anak shaleh sebelum Anda orantuanya shaleh terlebih dahulu. Bagaimana menurut Anda?.***

*)Penulis,

Orangtua, Dosen dan

Bekerja di Bank Syariah Harta Insan Karimah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun