Mohon tunggu...
abdul muid badrun
abdul muid badrun Mohon Tunggu... -

Pembelajar, Penggagas #OneDayOneNote, #OneDayOneQuote, Dosen, Bankir Syariah, Pembicara Publik, Motivator, Sedang Mendalami "Ilmu Service dan Branding", Gost Writer. Untuk Berkomunikasi: Email: abdulmuidbadrun@gmail.com FB; Abdul Muid Badrun TW: @abdulmuidbadrun Insta: abdul muid badrun

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Yuk Jadi Orangtua Shalih

28 Juni 2016   15:50 Diperbarui: 28 Juni 2016   16:02 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah ini yang Anda mau wahai para orangtua? Tentu tidak. Oleh karenanya, bebaskanlah anak untuk bersikap, bertindak, berprilaku, bermain, bertingkah, berinteraksi sepanjang tidak berlebihan. Syaratnya ada 3 (tiga), pertama, tidak membahayakan si anak. Kedua, tidak merugikan orang lain. Ketiga, tidak melanggar hukum agama atau negara. Nah, selama tidak terkait dengan ketiga hal tersebut, maka tidak ada alasan orangtua untuk tidak membebaskan anak. Biarkan anak bebas, selama tidak berlebihan dengan 3 (tiga) syarat di atas. Jika pun dilarang, pastikan yang dilarang itu bukan aktivitasnya tetapi berlebihannya.

Selain itu, orangtua sering menganggap anak harus up to date (mengikuti perkembangam zaman). Kemudian, anak dibelikan gadget agar tidak ketinggalan dengan anak-anak zaman sekarang. Sadar atau tidak, kita membelikan gadget selain untuk komunikasi, mengawasi, juga agar anak tidak merepotkan orangtua. Cara berpikir inilah yang keliru. Anak boleh pakai gadget tapi syaratnya harus sudah berumur 17 tahun. Sebelum umur itu, pakailah handphone biasa, yang bukan android alias tidak bisa dipakai internet.

Mengapa? Karena kalau anak-anak kita belum berusia 17 tahun sudah dibelikan gadget, anak akan lebih menyukai gadget dibanding belajar dan bermain bersama orantuanya. Lahirlah apa yang disebut generasi BLAST. Apa itu? Boring (anak cenderung gampang bosan pada apapun juga), Lonely (anak cenderung menyendiri, tak mau berinteraksi dengan orang lain. Asyik bermain dengan gadgetnya). Angry (anak cenderung suka marah-marah tidak jelas masalahnya. Sedikit-sedikit marah. Dipinjam gadget sama adiknya marah, lupa menaruh gadgetnya marah, dinasihati marah, dan lain sebagainya). Stress (anak tertekan karena tidak terbiasa berinteraksi dan bermain dengan lingkungan sekitarnya).

Sehingga, ketika diminta tampil di panggung misalnya, anak jadi stress. Kurang bisa bersosialisasi). Tired (anak gampang lelah. Spirit untuk maju tidak ada. Bahkan yang berbahaya anak tidak punya motivasi untuk berprestasi). Apakah 5 (lima) hal itu kita inginkan terjadi pada anak-anak kita? Tentu tidak. Makanya, jangan berikan gadget pada anak di bawah usia 17 tahun. Ini prinsip. Mengapa harus 17 tahun?

Karena menurut riset, otak anak sebelum 17 tahun itu masih belum dewasa untuk menerima rangsangan yang sifatnya tidak konkret. Mengkhayal tidak jelas. Kita bisa lihat akibatnya sekarang. Banyak anak-anak mendapat kekerasan, diperkosa, menyukai gambar porno, bermain games kekerasan dan lain sebagainya itu akibat kita sebagai orangtuanya membelikan anak gadget. Bahkan, dengan alasan tidak merepotkan dan tidak ketinggalan zaman, kita orangtua ikut "meracuni" otak anak kita dengan bahaya gadget sebelum waktunya. Hentikan! Jangan lakukan itu pada anak-anak kita. Bahaya akibatnya! Bagaimana membentuk anak disiplin, terutama terkait dengan keuangan. Bagaimana pula resep menjadi orangtua shaleh?

 Masalah kita orangtua saat ini adalah kurang memahami ilmunya. Ilmu mengasuh anak. Sehingga, mengasuh anak tanpa ilmu, bahaya akibatnya. Kita suka bilang, "Mengasuh ya mengasuh saja, kan ada baby sitter." Pikiran ini sungguh sangat disayangkan. Karena mengasuh anak, tidak sesederhana yang dibayangkan. Ilmu mengasuh anak inilah yang semestinya dipahami dulu sebelum melangkah ke pernikahan. Akibatnya, kita sering menjumpai banyak anak merasa "yatim piatu" (tidak merasakan kehadiran orangtuanya) di rumahnya.

Inilah yang dipelajari oleh dunia industri hiburan di televisi. Anak lebih akrab dengan TV dibanding orangtuanya. Anak lebih menyukai nonton TV, main games dibanding bermain bersama ayah ibunya. Karena, masa depan bangsa ini sangat tergantung pada anak-anak kita. Maka, bekali anak dengan bekal gizi ilmu yang sudah kita tanamkan pada mereka sejak kecil. Atau jangan-jangan kita "sengaja" abai karena disibukkan dengan pekerjaan kantor.

Ada pertanyaan, bagaimana soal orangtua yang menitipkan uang kepada anaknya ketika sedang kerja? Atau menyuruh anaknya beli makanan? Menitipkan uang kepada anak boleh, hanya ketika anak berusia di atas 7 tahun. Jika masih di bawah 7 tahun, tidak diperbolehkan. Kalau minta beli makanan, temani dia dan jangan menyuruh dia beli sendiri. Nah, untuk anak berusia di atas 7 tahun (sudah SD), biasakan memberi uang saku untuk satu minggu misalnya. Lakukan cara ini. Agar, anak mulai latihan mengelola uang. Misalkan, 1 anak seminggu dikasih uang saku Rp. 50.000. "Paksa" anak agar mengerti uang saku itu untuk apa. Jika habis sebelum 1 minggu jangan diberi lagi, meski dia merengek dan menangis minta uang lagi misalnya. Orangtua harus tega+s. Tidak boleh kasihan. Karena ini pendidikan keuangan untuk masa depan anak. Agar anak, memahami pengelolaan uang dengan disiplin. Dilarang pula anak menitipkan uang sakunya ke orangtua. Mengapa? Karena, anak tidak berlatih mandiri. Ini berbahaya. Anak akan semakin tergantung pada orangtuanya ketika butuh uang. Padahal orangtua bukan "mesin ATM" bagi anak.

Di sisi lain, kita sering menjumpai kasus orangtua berkata kotor depan anak? Hal ini tidak diperbolehkan. Mengapa? Karena, memori anak akan merekam kata-kata kotor itu berasal dari orantuanya. Kita tidak mau kan, anak kita bicara kotor hasil produksi dari kita sendiri orangtuanya. Bicaralah baik depan anak. Stop bicara kotor atau negatif depan anak. Kalimat wajib yang mesti dibiasakan di rumah ada 3 (tiga): 1. Terima kasih. 2. (minta) Tolong. 3. (mohon) Maaf. Saya singkat dengan TTM. Ayo, para orangtua, biasakan mengucapkan ketiga kata itu ketika berinteraksi dengan anak. Kalau pinjam barang milik anak, ijin dulu pada anak. Meski kita orangtua yang membelikannya. Kalau anak berprestasi misalnya, beri penghargaan, beri pengakuan agar percaya diri anak meningkat. Cara-cara sederhana ini sangat penting dan akan berdampak luar biasa pada tumbuh kembang anak.

Karena itulah, wahai para orangtua di Indonesia. Ciptakan suasana akrab dalam keluarga. Anak tetap anak. Dia berhak atas hidupnya. Kita orangtua, wajib membekali dan menyiapkan hidupnya agar ia bisa hidup di masanya nanti. Inilah bukti nyata pentingnya peranan keluarga dalam pendidikan anak. Jangan menuntut anak shaleh sebelum Anda orantuanya shaleh terlebih dahulu. Bagaimana menurut Anda?.***

*)Penulis,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun