Perempuan itu terkadang jauh lebih berharga ketimbang para pria-pria yang mengaku dirinya jantan, namun hanya jadi penyembah Monas.
Di dalam era modern yang mengedepankan kemajuan teknologi dan percepatan pembangunan, masih ada para pemuja-pemuja Monas yang dibiayai oleh politikus busuk.
Range dan simpangan antara warga di Jakarta ini benar-benar jauh. Di pencilan atas ada Silvia, di pencilan bawah ada nenek peyot penyebar hoax.
Di atas ada Jokowi di bawah ada si pembohong penculik. Di atas ada Ma'ruf Amin, di bawah ada penista kubur. DI atas ada Ahok, di bawah ada si penggunting pita.
Simpangan yang benar-benar jauh ini, membuktikan bahwa Indonesia masih jauh dari kata sejahtera. Setara itu masih hanya angan-angan. Maka di era Jokowi, di sinilah era orang yang ada di bawah untuk ikut ke atas. Kalau bicara rata-rata, yang di atas tidak akan turun.
Namun bicara rata-rata, tentu berbicara bagaimana yang ada di bawah mengejar untuk setidaknya sedikit berada di atas, sehingga rata-rata mulai naik, jangkauan mulai sedikit. Inilah yang menjadi tugas dari pemimpin bangsa ini.
Dengan adanya MRT, moda transportasi massal terbaru dan termodern di Indonesia, diharapkan para penyembah Monas dan kaum candu agama ini bisa lepas dari radikalisme dan kebodohan. Mereka diajak berpikir maju.
Silvia, panglima kereta perang MRT ini menjadi sosok yang mempermalukan para laki-laki yang menyembah Monas dan menghancurkan harga diri perempuan. Silvia Halim, menjadi simbol pembangunan dan kemajuan peradaban perempuan.
Ternyata kaum perempuan bisa bersaing dan bahkan beberapa di antaranya jauh lebih kompeten dibanding pemfitnah, penista kubur, penyebar hoax, dan pembual seperti laki-laki bencong yang ada di kubu sebelah.
Terima kasih Silvia, Anda sudah membuat penulis untuk sadar bahwa kemajuan itu bukan dari oposisi. Kemajuan itu adalah dari pembangunan yang berkesinambungan.
Pembangunan yang runtut. Pijaran maut ini menjadikan kubu oposisi kesilauan.