Farah meniti langkahnya dengan hati-hati. Berjinjit penuh pertahanan, lalu sesekali melempar wajah ke seluruh ruangan. Ia melangkah maju. Badannya basah kuyup, rambutnya acak-acakan penuh dengan lumpur. Senyumnya melingkar sempurna, setelah puas dengan hujan sore itu.
Gadis 9 tahun itu kian memperlambat langkahnya ketika melewati ruang tamu. Ia mulai mencondongkan kepalanya. Matanya juling, mengintip ruang tengah. Di sana, tepat di ujung ruangan, Ummahnya sedang membelakanginya. Ia masih fokus dengan kebiasaannya. Farah lega. Segera ia melanjutkan misinya --menuju kamar mandi tanpa ketahuan.
"Farah, sudah sholat Ashar?" Farah menghentikan langkahnya, balik kanan tanpa aba-aba, kemudian membalas senyum Ummahnya. "Ya, udah. Gih, mandi terus sholat Ashar." Senyum Ummahnya kian menggantung. Farah tertawa kecut kemudian lari kocar-kacir menuju kamar mandi.
Farah bergegas menuju ruang tengah. Melejit dengan mukenah putih yang masih ia kenakan. Napasnya naik turun. Kepalanya penuh dengan tanya. Hal yang wajar bagi anak seusianya. Farah mematung sambil menghafal setiap gerakan Ummahnya
Ummahnya masih nikmat dengan kegiatannya. Kakinya mengayuh beraturan, tangannya menyodorkan kain hitam pada biji jarum yang naik turun. Kemudian menyarungi lembaran karton berbentuk segi lima, dan berakhir dengan menjahitnya kembali. Timing, kepekaan, fleksibelitas, juga tingkat fokus yang tinggi. Setiap gerakannya penuh dengan perhitungan. Ibarat penari profesional yang sedang perform di panggung pertunjukan. Penuh semangat, dan nikmat dipandang.
Farah masih mematung di belakangnya. Ummahnya sangat hafal betul dengan kebiasaan dan kemauan Farah jika sudah begini.
"Kenapa Farah? Ada apa?" tanyanya. Dia tidak mengalihkan pandangan, masih fokus pada apa yang dikerjakan.
"Ummah, kenapa Farah harus sholat? Lima kali lagi, kan capek, Ummah." Farah berhenti sejenak, menghapus ingusnya yang mengganggu. "Terus, terus. Kenapa gerakannya ribet banget Ummah? Rukuk, berdiri, sujud, terus duduk Tahiyat, kenapa harus gitu?"
Ummahnya tersenyum. Farah selalu hadir dengan pertanyaan yang berbobot. Setiap kali dan setiap hari. Tentu saja, mudah menjawab bahwa sholat itu wajib, dan jika tidak dikerjakan pasti akan masuk neraka. Tapi, Ummahnya ingin Farah lebih mengetahui makna sholat jauh lebih itu. Bukan sekadar kewajiban.
"Farah," Ummahnya mengelus lembut kepala kecil Farah. "Farah sayang gak sama Ummah?"
"Iya, Farah sayang banget sama Ummah." Jawabnya berapi-api.
"Kenapa Farah sayang Ummah?" lanjutnya.
"Kenapa ya?" Farah mulai berpikir. Tangannya menggaruk batok kepalanya, seakan-akan mengorek-ngorek jawaban yang tepat. "Farah sayang Ummah karena Ummah suka buatin Farah makanan, bantu Farah pakai mukenah, terus Ummah mau gendong Farah ke sekolah." Farah nyengir dengan wajah polosnya.
Ummahnya tersenyum mendengar jawaban Farah. "Nah, itu namanya kasih sayang Ummah ke Farah. Terus kalau Ummah seperti itu, apa balasan Farah buat Ummah?"
Farah mulai berpikir kembali. Keningnya berkerut. Alisnya mulai naik turun penuh irama. "Ya, Farah gak bandel lagi, rajin ngaji, rajin sholat, dan gak lupa berdoa sebelum tidur. Gitu kan ya Ummah?"
"Pinter." Sambung Ummahnya sembari mencubit lembut pipi Farah. "Begitu juga dengan sholat, Farah. Allah sudah banyak memberi kita kenikmatan dunia ini. Farah dikasih mata untuk melihat, dikasih mulut untuk berbicara, dan masih banyak lagi nikmat yang Allah berikan. Maka sholatnya Farah adalah bukti sayang dan cinta Farah sama Allah. Farah takbir, ruku', bahkan sampai sujud mencium lantai sebagai bukti bahwa Farah benar-benar sayang sama Allah."
Farah manggut-manggut dengan jawaban Ummahnya.
"Farah paham?" tanya Ummahnya penuh harapan.
Sekali lagi Farah mengangguk penuh keyakinan. "Terus Ummah, ada satu pertanyaan lagi. Kenapa Ummah terus buat topi aneh ini? Setiap pagi, malam, bahkan Farah bangun tidur pun Ummah masih saja melakukannya." Ummahnya tertawa sambil mengambil satu topi yang telah jadi.
"Ini, namanya toga, Farah." Ia pasang toga yang telah jadi di kepala Farah. "Ummah bikin toga ini buat dipakai Farah nanti." Senyum Ummahnya sekali lagi mengalir tanpa henti.
"Gak muat Ummah, kebesaran." Farah mendengus, cemberut. "Lagian mana mungkin Farah pake topi sebanyak ini."
Ummahnya menoel hidung Farah. "Makanya, Farah cepet besar ya." Melepas topi di kepala Farah, kemudian meletakkannya --rapi, di lemari kaca di sudut ruangan. "Yang satu ini punya Farah, dipake kalau Farah sudah sarjana."
Mata farah berbinar-binar. Antara bingung dan senang. Senyumnya melebar sempurna. Puas dengan jawaban yang diberikan sang Ummah.
"Emang, harus hitam ya, Ummah?" tanya Farah di sela-sela rasa puasnya. Celetuk seperti ini selalu muncul dari mulut Farah. Entah, tentang apa, kapan, dan di mana saja.
"Yang namanya toga itu harus hitam Farah." Ummahnya menjawab dengan penuh kesabaran dan tentunya dilengkapi dengan senyuman.
**
Farah turun terburu-buru dari bis antarkota. Melangkah cepat melewati lorong-lorong kecil. Napasnya berkejaran, berlomba menuju rumah kesayangannya.
"Ummah, Ummah." Farah menuju ruang tamu, kegirangan. Membuka lemari kaca di sudut ruangan. Dan mengenakan toga yang disiapkan Ummahnya sejak lama.
"Farah lulus Ummah." Ummahnya tersenyum manis di mesin jahit. "Sekarang Farah sudah sarjana." Wajah dewasa Farah begitu cantik dipayungi toga hitam yang dikenakannya.
Ummahnya hanya tersenyum memerhatikan. Farah kemudian membuka tas ranselnya. Mengambil jubah yang tadinya ditata rapi.
"Tapi, Ummah salah." Wajahnya sedikit cemberut. "Toga gak selalu hitam loh, Ummah. Ini buktinya. Toga di kampus Farah warna merah, weeek." Farah bahagia. Melet kegirangan. Ummahnya masih tersenyum. Seakan mengiyakan.
Farah mengenakan jubah merahnya, berputar bak model. Seakan ingin memperlihatkan setiap inci tubuhnya kepada Ummah yang sangat ia sayangi. Farah berputar ke kanan, ke kiri, tertawa. Hingga memenuhi semua sudut ruangan.
Hingga pada akhirnya, Farah terduduk di lantai. Masih dengan tawanya. Keletihan, dengan kebahagiaan yang dirasakannya. Ia mengatur alunan napasnya. Membuka toga merah yang dikenakan.
"Farah cantik kan Ummah?" Tidak ada jawaban. Ummahnya masih saja tersenyum di atas meja jahit kesayangannya. Bingkai foto dan gambar Ummahnya bersanding dengan foto Abah Farah lengkap dengan senyum hangat keduanya. Tersenyum penuh rasa bangga pada putri semata wayangnya.
Air mata Farah jatuh. Membasahi jubah, ijazah, dan surat kabar yang dibawanya. "Farah (22 tahun), mahasiswa berprestasi Universitas Padjajaran tahun 2020 mendapatkan beasiswa penuh Oxford University." Begitu yang tertulis dalam surat kabar yang ia genggam erat.
"Semoga Ummah dan Abah juga bahagia." Farah menelungkup dalam sepi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H