Mata farah berbinar-binar. Antara bingung dan senang. Senyumnya melebar sempurna. Puas dengan jawaban yang diberikan sang Ummah.
"Emang, harus hitam ya, Ummah?" tanya Farah di sela-sela rasa puasnya. Celetuk seperti ini selalu muncul dari mulut Farah. Entah, tentang apa, kapan, dan di mana saja.
"Yang namanya toga itu harus hitam Farah." Ummahnya menjawab dengan penuh kesabaran dan tentunya dilengkapi dengan senyuman.
**
Farah turun terburu-buru dari bis antarkota. Melangkah cepat melewati lorong-lorong kecil. Napasnya berkejaran, berlomba menuju rumah kesayangannya.
"Ummah, Ummah." Farah menuju ruang tamu, kegirangan. Membuka lemari kaca di sudut ruangan. Dan mengenakan toga yang disiapkan Ummahnya sejak lama.
"Farah lulus Ummah." Ummahnya tersenyum manis di mesin jahit. "Sekarang Farah sudah sarjana." Wajah dewasa Farah begitu cantik dipayungi toga hitam yang dikenakannya.
Ummahnya hanya tersenyum memerhatikan. Farah kemudian membuka tas ranselnya. Mengambil jubah yang tadinya ditata rapi.
"Tapi, Ummah salah." Wajahnya sedikit cemberut. "Toga gak selalu hitam loh, Ummah. Ini buktinya. Toga di kampus Farah warna merah, weeek." Farah bahagia. Melet kegirangan. Ummahnya masih tersenyum. Seakan mengiyakan.
Farah mengenakan jubah merahnya, berputar bak model. Seakan ingin memperlihatkan setiap inci tubuhnya kepada Ummah yang sangat ia sayangi. Farah berputar ke kanan, ke kiri, tertawa. Hingga memenuhi semua sudut ruangan.
Hingga pada akhirnya, Farah terduduk di lantai. Masih dengan tawanya. Keletihan, dengan kebahagiaan yang dirasakannya. Ia mengatur alunan napasnya. Membuka toga merah yang dikenakan.